Mufakat Kanjeng Sinuhun (18): Penumpang Gelap
Obrolan pun semakin hangat. Sagat menceritakan proses penyerahan uang ke Kanjeng Sinuhun. Ketika itu ia diminta Ucok untuk mengantarkan uang dalam plastik hitam itu. Sagat pun meluncur menggunakan sepeda motornya. Ia masuk ke rumah dinas Kanjeng Sinuhun. Kantong plastik berisi uang itu, ia letakkan di bawah kursi di beranda rumah Kanjeng Sinuhun. Sesuai perintah Ucok. Ia tidak bertemu langsung dengan Kanjeng. Bahkan mungkin Kanjeng tak tahu siapa yang mengirimkan uang itu.
Simad menyimak cerita tersebut. Kemudian menanyakan apakah Sagat mendapat bagian dari uang itu?. Yang ditanya geleng-geleng kepala. Ia hanya menerima upah seperti biasa dari Sinuhun Ucok. Simad pun prihatin. Dalam proyek besar begitu, Sagat malah tak dapat jatah.
“Begini, kamu mau duit?. Kita ke rumah Kanjeng Sinuhun yuk. Sekarang..!”. Simad sudah bisa membaca, Kanjeng Sinuhun pastinya akan menutup ruang saksi agar tidak biacara ke publik. Artinya, ada peluang Sagat mendapatkan uang tutup mulut dari Kanjeng.
Simad memang tak berharap mendapat jatah. Ia hanya prihatin melihat Sagat yang kesulitan keuangan. Kebetulan, Simad kenal baik dengan Kanjeng Sinuhun. Masih satu organisasi kepemudaan. Kanjeng adalah ketuanya, sementara Simad masuk jajaran pengurus organisasi kepemudaan itu.
Sejurus kemudian, keduanya meluncur ke rumah dinas Kanjeng Sinuhun. Kebetulan Kanjeng tengah santai di teras belakang rumah. Keduanya pun menuju teras belakang. Terlihat kanjeng sedang merokok sendirian. Ditemani secangkir kopi, malam itu.
Lalu, Simad menceritakan bahwa Sagat mengantar uang yang dititip Sinuhun Ucok. Kanjeng pun kaget. Artinya ada satu orang lagi yang harus ia kunci. Ia paham, jika Sagat buka mulut, bisa saja menjeratnya menjadi tersangka baru. Ini tidak boleh dibiarkan…!
“Sebentar. Kamu tunggu disini ya,” kata Kanjeng. Kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, muncul lagi dengan membawa tiga amplop cokelat. Masing-masing amplop tebalnya lebih dari dua centimeter. Dua amplop diserahkan ke Sagat dan satu amplop lagi diberikan ke Simad.
“Ini isinya dolar ya. Pokoknya tolong diamankan,” kata Kanjeng. Sagat dan Simad kemudian undur diri. Langkahnya terasa lebih ringan.
****
Kanjeng tercenung. Kondisi keuangannya kian terpuruk. Entah siapa lagi yang harus ia kasih uang tutup mulut. Padahal uang yang ia terima dari proyek perluasan lahan itu sudah habis. Semua untuk menutupi agar dirinya tidak terjerat. Bahkan, beberapa asetnya sudah ia jual. Jika dihitung-hitung uang dari proyek perluasan lahan itu dan yang harus dikeluarkan untuk menutupi kasus tersebut, lebih banyak uang yang keluarnya.
Namun, ada lagi yang membuat ganjalan. Karena kasus ini masih tetap bergulir. Suara-suara itu seolah menuding bahwa Kanjeng sebagai dalang dalam permufakatan gelap tersebut. Masih ada saja mahasiswa yang demonstrasi dan menyuarakan kasus korupsi perluasan lahan pertanian 1.000 hektare. Kok belum juga reda. Ia mulai berpikir siapa yang bermain di air keruh sebagai penunggang gelap.
*****
Ternyata ini. Kanjeng Sinuhun tidak memprediksi tahun politik. Dirinya sebagai tokoh sinuhun berpeluang untuk menjadi Sultan—kepala Pemangku Kota Ulin berikutnya. Ia juga tercatat memiliki pemilih terbanyak. Pengikutnya loyal. Bahkan ia punya posisi strategis di faksi politiknya.
Usut punya usut. Wakil kepala Pemangku Kota Ulin, yang sebelumnya tak dikisahkan, juga bermain dengan isu perluasan lahan pertanian itu. Adalah Ahmad, wakil Sultan. Ia masih satu faksi dengan Kanjeng Sinuhun. Sebagai wakil, tentunya Ahmad akan maju dalam pemilihan kepala Kota Ulin berikutnya. Ahmad juga yang mencoba memainkan kasus ini dengan mendorong mahasiswa untuk terus bersuara.
Kanjeng Sinuhun mulai memahami itu. Memang beberapa kali antara Kanjeng dan Ahmad terlibat konflik politik. Keduanya berebut supremasi di faksi politiknya. Mereka berada di satu faksi politik yang sama. Ahmad memang ketua faksi politik. Namun, kadernya banyak yang loyal terhadap Kanjeng Sinuhun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: