Asesmen Nonkognitif dan Kognitif sebagai Upaya Mencapai Keberhasilan PJJ

Asesmen Nonkognitif dan Kognitif sebagai Upaya Mencapai Keberhasilan PJJ

Pendidikan Indonesia menjadi salah satu bidang yang terdampak COVID-19. Kegiatan belajar mengajar yang normalnya terlaksana secara tatap muka di kelas. Berganti menjadi pertemuan tatap maya, atau yang umumnya dikenal dengan sebutan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar Dari Rumah (BDR). Aktivitas belajar ini tentu memerlukan perangkat teknologi baik ponsel pintar maupun laptop yang terkoneksi internet dengan baik dan memadai.

---

Penulis:  Hesti Kustrini, S.Pd.

Penyunting: Ahmad Agus Arifin

ADAPTASI dengan cara baru tersebut tentu bukan hal yang mudah. Tidak hanya dirasakan guru yang harus lebih melek teknologi, orang tua dan peserta didik pun mengalami hal serupa. Terlebih jika orang tua bekerja di luar rumah dan harus menjalankan peran tambahan yakni mendampingi aktivitas belajar putra dan putrinya.

Lambat laun, nyatanya memang semua orang harus berdamai dengan keadaan. Guru, orang tua, dan peserta didik dituntut keluar dari zona nyaman agar bisa mengeksplorasi penggunaan teknologi pembelajaran. Terutama bagi para guru yang harus berinovasi menciptakan desain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan latar belakang peserta didik yang beragam. Baik dari segi ketersediaan fasilitas perangkat, maupun kemampuan para peserta didik dalam mengakses internet di tempat tinggal masing-masing. Guru berupaya memberikan yang terbaik sekaligus berusaha memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para peserta didik untuk belajar.

Berdasarkan ilustrasi di atas, kiranya memang tepat untuk dikatakan bahwa semua mitra sekolah baik orang tua maupun lingkungan sekitar harus bersinergi agar pelaksanaan PJJ atau BDR bisa berjalan optimal.

Pengelolaan kelas agar kondusif seolah menjadi hal yang perlu diperhatikan lebih serius. Pasalnya selama PJJ, ruang gerak guru untuk memonitor proses belajar peserta didik menjadi terbatas. Karenanya, hampir sulit mengidentifikasi motivasi belajar masing-masing peserta didik. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar, evaluasi pembelajaran, dan kualitas output pendidikan.

Prinsip dasar yang menjadi prioritas PJJ adalah kesehatan dan keselamatan peserta didik, serta tenaga kependidikan. Dilanjutkan dengan tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososialnya. Fokus pada keterampilan kecakapan hidup dan memberi pengalaman belajar yang bermakna juga menjadi bagian dari prinsip PJJ.

Untuk mendukung keberhasilan dan optimalnya tujuan PJJ, maka sistem pendidikan perlu memenuhi 5M:

  1. Memanusiakan hubungan, yakni bagaimana peserta didik merasa dipahami kondisinya sejak awal dan selama proses belajar. Mulai dari cara dan gaya belajar, latar belakang keluarga, kebiasaan di rumah, pekerjaan orang tua, dan lain sebagainya.
  2. Memahami konsep, yakni membimbing peserta didik bukan sekadar memahami konten pelajaran, tetapi juga menguasai kompetensi dengan berdiskusi tentang aktivitas belajar di rumah. Artinya, konsep pemahaman pengetahuan yang dikuasai peserta didik hendaknya dilengkapi dengan penguasaan keterampilan sebagai bekal kecakapan hidup di lingkungan masyarakat mereka kelak.
  3. Membangun keberlanjutan, yakni memberi umpan balik atas respons belajar peserta didik. Termasuk mengajak orang tua berdiskusi mengenai tantangan memonitor putra dan putrinya belajar di rumah, serta strategi yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah belajar yang dihadapi peserta didik seperti kesulitan memahami materi atau mengerjakan tugas.
  4. Memilih tantangan, yakni memastikan peserta didik menguasai keterampilan atau keahlian dengan cara belajar dan bakatnya masing-masing.
  5. Memberdayakan konteks, yakni memberdayakan sumber daya dan kesempatan di komunitas atau lingkungan sebagai sumber belajar. Misal dengan menjadikan orang tua peserta didik yang berprofesi tenaga medis sebagai narasumber dalam sesi berbagi informasi topik kesehatan, dan sebagainya.
pjj

Di antara dampak PJJ yang bisa saja dialami peserta didik adalah ketidaktercapaian tujuan belajar dengan maksimal, penurunan motivasi belajar, ketimpangan pemerolehan ilmu pengetahuan, perkembangan emosi dan kesehatan psikologis terganggu, pernikahan di usia dini, dan rentan putus sekolah.

Untuk meminimalisir dampak-dampak di atas, alternatif solusi yang bisa dilakukan guru ialah melakukan asesmen di awal pembelajaran secara berkala. Asesmen ini bertujuan memonitor perkembangan nonkognitif dan kognitif peserta didik selama PJJ agar memenuhi target pencapaian belajar.

Asesmen nonkognitif bertujuan mengetahui latar psikologi dan sosial emosi peserta didik, kondisi keluarga, dan aktivitas mereka selama berada di rumah. Tahapan pelaksanaannya dimulai dengan menyiapkan pertanyaan yang mudah dipahami agar peserta didik termotivasi menceritakan, menggambarkan, atau menuliskan kondisi pribadi dan lingkungan riil sekitarnya.

Selanjutnya bisa dengan melakukan tanya jawab yang sifatnya mengalir, tanpa label jawaban benar atau salah. Guru bisa memberi respons jika peserta didik mengajukan pertanyaan lanjutan. Tindak lanjut dari asesmen nonkognitif ini di antaranya adalah mendapat informasi kategori peserta didik yang memiliki ekspresi emosi negatif dan/atau berkepribadian agak tertutup sehingga bisa diajak ngobrol ringan empat mata, baik oleh wali kelas maupun guru bimbingan konseling (BK). Orang tua juga bisa dilibatkan dalam kegiatan tindak lanjut melalui layanan konsultasi BK maupun kunjungan rumah (home visit) apabila diperlukan.

Adapun asesmen kognitif bertujuan mendiagnosis kemampuan berpikir peserta didik terhadap kesiapan belajarnya. Langkah asesmennya berupa menyiapkan dan memberikan sepuluh soal yang terdiri dari delapan soal prasyarat dasar yang diambil dari tingkat-tingkat kelas sebelumnya, dan dua soal terkait materi yang akan dipelajari. Asesmen ini bisa diberikan secara daring maupun luring sesuai kondisi lingkungan belajar peserta didik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: