Pembekalan K3 dalam Pendidikan Vokasi

Pembekalan K3 dalam Pendidikan Vokasi

Agustinus Setyawan. (Ist)

OLEH: AGUSTINUS SETYAWAN*

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan yang mengarahkan peserta didiknya untuk mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang pekerjaan tertentu dan pada akhirnya juga dapat menciptakan peluang kerja. Pendidikan vokasi juga memiliki orientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta merujuk pada tuntutan kebutuhan dunia usaha dan industri.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka implementasi dual system education, di mana komposisi 40 persen teori dan 60 persen praktek harus benar-benar diperhatikan dan dikontrol dengan baik. Mengingat komposisi prakteknya lebih banyak, maka sangat perlu diperhatikan juga terkait aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di lingkungan pendidikan. Khususnya pendidikan vokasi.

Sebagai salah satu contoh. Jika peserta didik melakukan praktek pengelasan di workshop, kita menemukan banyak sekali potensi sumber-sumber bahaya yang dapat mengancam siapa saja yang berada di lokasi tersebut. Secara umum, bahaya-bahaya yang terkait dengan pengelasan meliputi bahaya sinar ultraviolet dan inframerah, kebocoran aliran listrik, bahaya debu dan gas dalam asap las, bahaya percikan las, bahaya ledakan, dan bahaya titik jepit misalnya pada saat menggunakan welding stand.

Ini baru contoh satu jenis pekerjaan saja. Sementara pekerjaan lainnya yang dilakukan di workshop pendidikan vokasi memiliki potensi sumber-sumber bahaya. Walaupun pekerjaan yang sederhana. Sekalipun misalnya praktek kerja bangku dan pekerjaan secara manual lainnya.

Saya pernah menemukan peserta didik yang tidak memakai alat pelindung diri (APD) ketika praktek di lokasi workshop. Pada saat itu saya menanyakan alasan kenapa tidak memakai APD. Mayoritas dari mereka menjawab lupa. Begitu juga dulu sewaktu saya masih aktif bekerja di dunia konstruksi. Pada saat melakukan inspeksi rutin di lapangan, juga saya pernah menemukan beberapa pekerja di lapangan yang tidak memakai APD. Dengan mayoritas jawaban yang sama.

Fenomena lainnya juga sering kita temukan di jalan raya. Di mana seseorang mengendarai sepeda motor tanpa memakai helm atau membawa helm namun tidak dipakai. Hanya dicantolkan di sepeda motornya. Fenomena-fenomena seperti ini tentunya memiliki implikasi pada masalah kesadaran diri (self-awareness).

Perilaku manusia memiliki peran mayoritas terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Teori Heinrich merupakan dasar dari keselamatan yang berbasis perilaku (behavior base safety). Teori itu menyatakan bahwa 88 persen kecelakaan kerja terjadi karena perilaku tidak aman (unsafe acts), 10 persen kecelakaan kerja terjadi karena kondisi tidak aman (unsafe condition), dan 2 persen tidak diketahui penyebabnya (unpreventable). Dalam teori Heinrich ini, pencegahan kecelakaan kerja berfokus pada penghilangan faktor utama: tindakan tidak aman atau bahaya yang mendasari 98 persen dari semua penyebab kecelakaan kerja. Heinrich beranggapan, kecelakaan kerja dapat dicegah dengan menghilangkan kedua faktor tersebut (unsafe acts dan unsafe condition).

Penerapan dan implementasi K3 tidak hanya terbatas pada kegiatan industri yang identik dengan pengoperasian mesin, alat berat, dan adanya risiko tinggi. Namun K3 sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bagian kehidupan manusia. Termasuk di lingkungan pendidikan. Terutama pendidikan vokasi.

Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan untuk menerapkan K3 ini pada peserta didik pendidikan vokasi. Dengan menggulirkan konsep mengenai 5R: ringkas (memilah barang yang diperlukan dan yang tidak diperlukan), rapi (menata barang/peralatan berdasarkan alur proses kerja), resik (membersihkan area kerja), rawat (mempertahankan kegiatan ringkas, rapi, dan resik dari waktu ke waktu), dan rajin (mendisiplinkan diri dalam melakukan ringkas, rapi, resik, dan rawat).

Pada dasarnya, 5R dan K3 memiliki kaitan yang sangat erat. Misalnya jika terdapat barang/peralatan yang berserakan di area kerja, hal ini bisa membuat orang yang bekerja di area tersebut tersandung dan jatuh.

Dalam artikel ini, izinkan penulis untuk sharing terkait beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk dapat mendukung dan memperlancar pembekalan dasar K3 pada peserta didik. Terutama pada pendidikan vokasi.

RANCANG KURIKULUM

Wiggins G. dan McTighe J. (2000) dalam bukunya Understanding by Design menawarkan kerangka kerja untuk merancang kurikulum yang disebut dengan backward design. Instruktur biasanya melakukan pendekatan dengan cara forward design. Di mana mereka mempertimbangkan kegiatan pembelajaran (cara mengajar konten), mengembangkan penilaian di sekitar kegiatan pembelajaran mereka, kemudian berusaha untuk menarik koneksi ke tujuan pembelajaran. Sebaliknya, dalam pendekatan backward design, instruktur mempertimbangkan tujuan pembelajaran terlebih dahulu. Secara urutan backward design di mulai dari: 1) merumuskan tujuan pembelajaran yang luas (formulate broad learning goals); 2) menetapkan tujuan pembelajaran tertentu (set specific learning objectives); 3) rancang sistem penilaian (design assessments); dan 4) mengembangkan kegiatan belajar (develop learning activities).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: