Pembekalan K3 dalam Pendidikan Vokasi

Penyusunan kurikulum seharusnya selalu melibatkan subject matter expert (SME) dari industri. Dengan sering melibatkan SME dari industri, maka akan semakin memperkecil kesenjangan yang terjadi. Juga meningkatkan kualitas kurikulum. Karena sudah in line dengan kebutuhan industri. Dengan merujuk pada backward design dan pengayaan materi dari SME industri, maka akan dapat menjawab beberapa pertanyaan inti dalam mengoptimalkan kurikulum K3 yang akan diajarkan kepada peserta didik pada pendidikan vokasi.
Mengapa dasar K3 perlu diajarkan kepada peserta didik? Mengapa peserta didik perlu belajar terkait materi spesifik dasar K3 (misalnya APD, keselamaan kerja listrik, keselamatan kerja rotating equipment, bekerja di ketinggian, dan masih banyak materi spesifik lainnya)? Apakah dari materi-materi spesifik tersebut sudah dirancang elemen-elemen kompetensinya dan juga instrumen asesmennya? Bagaimana pengembangan yang dilakukan dalam kegiatan belajar? Jika semua pertanyaan tersebut dapat dijawab, maka kurikulum K3 yang telah dirancang bersama dengan SME industri sudah efektif dan valid. Sehingga capaian pembelajaran lebih optimal.
MATERI K3 DAN SME
Jangan pernah mengajari orang untuk memakai full body harness. Tetapi Anda sendiri belum pernah mempratekkannya. Walaupun hanya sederhana. Namun jika belum pernah mempratekkannya, hasilnya pasti berbeda. Kehadiran praktisi dan SME K3 dari industri untuk mengajarkan dasar K3 sangat diperlukan oleh dunia pendidikan. Teori saja tidak cukup. Diperlukan pengayaan pengalaman dari praktisi/SME K3 industri yang akan lebih banyak memberikan sharing terkait praktek K3 di lapangan secara aktual. Sehingga wawasan peserta didik akan lebih komprehensif.
Dengan menampilkan materi-materi terkait praktek K3 di industri, peserta didik akan lebih aktif untuk menanyakan lebih detail terkait teori yang didapatkan dan dikorelasikan dengan kondisi nyata di lapangan. Dalam metode penyampaian materi dasar K3 ini bisa dilakukan dengan cara 40 persen teori diampu oleh dosen/instruktur dari institusi pendidikan dan 60 persen praktek diampu oleh praktisi/SME industri. Hal ini bisa dilakukan di dalam kelas (dilengkapi peralatan untuk simulasi) ataupun bisa langsung dibawa ke site (lapangan). Pengaturan dan persentase teori dan praktek dapat disesuaikan dengan kebutuhan dari institusi pendidikan dan kesepakatan dengan industri.
KOMPETENSI DASAR
Menurut Gordon (1988), terdapat enam aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi yang meliputi: 1) pengetahuan (knowledge); 2) pemahaman (understanding); 3) kemampuan (skill); 4) nilai (value); 5) sikap (attitude); dan 6) minat (interest). Karena itu, pengertian kompetensi adalah gabungan antara pengetahuan, keterampilan, serta atribut kepribadian seseorang. Sehingga dapat meningkatkan kinerja. Juga memberikan kontribusinya untuk keberhasilan organisasi.
Dalam arti yang lebih sederhana dapat diungkapkan dengan tiga hal yang penting dan mudah diingat: tahu, mampu, dan mau. Jika seseorang sudah dibekali pengetahuan tentang dasar K3, maka seseorang tersebut akan menjadi tahu. Setelah diberikan pengetahuan, seseorang diajarkan bagaimana dasar K3 tersebut agar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, sekolah ataupun di tempat kerja. Sehingga seseorang tersebut dari tahu menjadi mampu. Sementara mau lebih merepresentasikan perilaku (attitude) seseorang.
Untuk lebih meningkatkan komitmen dan kesadaran dari peserta didik terhadap K3, maka kompetensi dasar K3 yang diterapkan di dunia pendidikan, terutama pendidikan vokasi, dapat dijadikan sebagai prasyarat untuk mengikuti on the job training (OJT).
CIPTAKAN BUDAYA
Pada saat aktif di dunia konstruksi dan sempat beberapa tahun sebagai pengajar safety induction, penulis sering mendapatkan pertanyaan seperti ini: “Mengapa banyak perusahaan yang menerapkan K3 dengan sangat baik dan banyak sekali program yang dilaksanakan namun juga masih sering terjadi kecelakaan?” Saya rasa ini adalah pertanyaan yang common dan hampir di semua jenis industri mengalami hal yang kurang lebih sama.
Merujuk dari teori-teori terkait penyebab terjadinya kecelakaan kerja, hampir semuanya mengerucut pada faktor manusianya. Lebih spesifik pada tingkat kesadaran. Juga budaya dalam membangun K3 di organisasi. Budaya K3 suatu organisasi merupakan produk dari nilai-nilai individu dan kelompok, sikap, kompetensi, dan perilaku yang akan memiliki dampak terhadap komitmen. Dalam penerapan program-program K3 di organisasi.
Bagaimana kita bisa melihat tingkat budaya suatu organisasi? Dupont telah membuat Dupont Bradley Curve dan membagi tingkatan budaya K3 dalam empat tahap: 1) orang-orang tidak bertanggung jawab dan percaya bahwa kecelakaan akan terjadi (reactive stage); 2) orang-orang memandang keselamatan sebagai aturan yang harus dikuti (dependent stage); 3) orang-orang bertanggung jawab dan percaya bahwa mereka dapat membuat perbedaan dengan tindakan (independent stage), dan 4) tim merasa memiliki dan tanggung jawab terhadap budaya keselamatan (interdependent stage).
Dengan memberikan pembekalan dasar K3 lebih intensif ke dunia pendidikan, khususnya pendidikan vokasi, artinya sudah melakukan upaya untuk menciptakan budaya K3 sedini mungkin. Kesehatan dan keselamatan kerja adalah tanggung jawab setiap individu. Setiap individu harus menjadi agen dalam penerapan K3 setiap saat dan di mana pun tempatnya. (*Praktisi SDM dan Pemerhati Pendidikan Vokasi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: