Misteri Lesapnya Foto Pelontaran di Mina
OLEH: IMRAN DUSE*
Puncak pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 tinggal menghitung waktu. Jemaah haji dijadwalkan wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah atau bertepatan pada Kamis (30/7).
Di tengah kecemasan dunia terhadap pandemi COVID-19, otoritas Arab Saudi membuka pelaksanaan ibadah haji tahun ini secara terbatas. Berbagai aturan baru terkait protokol kesehatan diterapkan. Antara lain larangan menyentuh ka’bah dan kewajiban jemaah menggunakan masker selama pelaksanaan ritual haji.
Bagi seorang muslim, haji merupakan ibadah paripurna. Dilaksanakan sekali seumur hidup. Yang sifatnya wajib, selebihnya sunnah. Dalam prosesi akbar ini, jemaah senantiasa diingatkan untuk selalu menjaga ucapan dan tindakan. Bahkan menjaga kebersihan hati dan pikiran.
Karena itu, sering terdengar pengalaman jemaah yang sangat personal, unik dan spesifik. Setiap jemaah memiliki pengalaman masing-masing. Dan berbeda-beda. Kendati berada dalam satu kelompok yang sama.
Sebagaimana yang penulis alami ketika menunaikan panggilan melaksanakan ibadah haji pada 2015. Sebuah pengalaman kehilangan hasil jepretan yang sulit diuraikan. Tapi juga sebuah pertanda. Betapa akal dan nalar manusia begitu terbatas (atau masih belum cukup). Untuk memahami realitas yang “seakan-akan” tidak masuk akal itu.
Di waktu itu pula ada sejumlah kejadian yang menyebabkan ratusan jemaah meninggal dunia. Antara lain robohnya crane di pelataran Masjidil Haram dan peristiwa gugurnya ratusan jemaah akibat berjejalan saat menuju tempat pelontaran.
Hari itu di Mina, Arab Saudi, 24 September 2015. Entah apa yang terjadi di luar sana. Di dalam tenda, kami cuma mendengar tanda bahaya ambulans bersahut-sahutan memecah terik. Sesekali terdengar deru suara helikopter. Serasa terbang persis di atas tenda kami, jemaah haji yang tergabung dalam rombongan Arellah Wisata.
Waktu setempat menunjukkan pukul 14.00. Kami baru saja menyelesaikan makan siang dan sementara berisitirahat (di pemondokan 114). Ada pemandangan berbeda saat sebagian besar jemaah berkomunikasi via smartphone dengan keluarga mereka di Tanah Air. Nyaris di waktu bersamaan.
Tak terkecuali kami, saya dan istri, yang juga mendapat telepon dari keluarga di Samarinda. Anak sulung kami, Zalfaa Zahira, sedari tadi mencoba mengubungi. Dengan suara bernada kecemasan, pelan-pelan dia menanyakan kabar kami dan anggota rombongan lainnya.
“Semua televisi di sini beritakan insiden di Mina lho Pa. Korban meninggal dunia sudah mencapai 400-an orang. Syukur alhamdulillah kalau papa-mama dan seluruh rombongan dalam keadaan sehat,” kata Zalfa di ujung telepon.
Suasana spontan menjadi riuh. Kami yang berjarak tak lebih 0,3 kilometer dari tempat kejadian, sungguh belum tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana. Sementara keluarga di Tanah Air yang jaraknya 8.700 kilometer dari lokasi kejadian, sudah mendapat informasi yang nyaris lengkap.
Belakangan kami mengetahui peristiwa yang terjadi akibat jemaah yang berjejalan saat hendak menuju tempat pelontaran jumroh. Diberitakan jumlah jemaah yang wafat sebanyak 712 orang. Yang luka-luka tak kurang dari 800 orang.
Dari area pemondokan, kami dapat menyaksikan ambulans yang lalu-lalang serta petugas keamanan dan medis dalam jumlah cukup banyak. Sebagian jemaah mencoba mendekati lokasi kejadian. Dengan maksud sekadar ingin tahu saja. Beberapa di antara mereka bahkan mengambil gambar dan berswafoto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: