Calon Tunggal, Pandemi dan Pemantau Pilkada

Calon Tunggal, Pandemi dan Pemantau Pilkada

Oleh: Ebin Marwi
(Anggota Bawaslu Prov. Kalimantan Timur)

DISINYALIR calon tunggal akan teradi pada Pilkada serantak di Kaltim (Disway Kaltim, edisi 22 Juli). Meski fenomena calon tunggal adalah jalur yang legal diberikan oleh aturan perundangan, namun realitas pilkada dengan paslon tunggal seakan memberi signal tentang mundurnya kualitas demokrasi lokal. Paslon tunggal akan melawan “kotak kosong” mengejawantahan putusan legal. Kotak kosong sebagai jalan keluar akibat kebuntuan prosedur politik ketika terjadi realitas hanya terdapat satu pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU.

Sejak pelaksanaan pilkada digelar serentak berdasarkan UU No.8 tahun 2015 tentang Pilkada, muncul fakta politik baru yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Bahkan bisa jadi, belum pernah terjadi di belahan bumi manapun. Fakta politik tersebut adanya suksesi kepala daerah dengan calon tunggal. Artinya, hanya ada satu pasangan yang memenuhi syarat ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Tanpa adanya lawan.

Fakta politik ini merupakan anomali demokrasi. Dimana demokrasi memiliki prinsip kontestasi atau persaingan secara adil. Fakta politik inilah yang melatarbelakngi kelompok masyarakat sipil mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dimintai pertimbangan hukumnya. Hasilnya, atas permohonan tersebut MK memutuskan harus adanya lawan tanding bagi paslon tunggal.

Lawan tanding yang maksud adalah kolom kosong yang tidak mewakili afiliasi politik manapun dan kolom tertera tanpa nama. Kolom kosong inilah yang kemudian disebut kotak kosong. Kotak kosong hadir sebagi wujud prinsip kontestasi dalam berdemokrasi. Kotak kosong juga memuat nilai ketidaksetujuan atas paslon, maka memilih kotak kosong sebagai alternatifnya.

Mengapa ada calon tunggal? Seperti penulis jelaskan di atas, fenomena calon tunggal dalam pilkada menyeruak seiring dengan ditetapkan UU No.8 Tahun 2015 dimana prosedur pencalonan sangat berat dan ketat. Pencalonan dari jalur partai politik, calon kepala daerah harus didukung dari parpol yang memeroleh minimal 20% jumlah kursi partai politik di DPRD atau 25% perolehan suara partai politik.

Sementara calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan sebanyak 7 hingga 10% jumlah penduduk. Tergantung banyaknya jumlah penduduk di wilayah tersebut. Tidaklah mudah mengumpulkan dukungan perseorangan di tengah masyarakat yang pragmatis.

Untuk urusan dukungan partai politik, hanya bagi mereka yang memiliki relasi kuasa modal dan politik sangat menentukan dalam menggaet partai politik. Petahana adalah salah satu potensi itu. Bahkan lebih dari itu, petahana yang memiliki kapasitas finansial dan juga pengaruh politik dalam memborong partai politik sebagai kendaraan politiknya. Dominasi kuasa dalam aksesbilitas anggaran menjadikan petahana memiliki daya pikat tersendiri memeroleh pinangan partai politik. Jika sudah demikian, jadilah paslon tunggal.

Petahana memiliki akses untuk mendistribusikan sumber daya anggaran dalam situasi pendemi covid-19. Keadaan ini tentu menguntungkan petahana. Jauh sebelum penetapan paslon oleh KPU, petahana dapat memanfaatkan bantuan sosial sebagai ajang “kampanye”.
Bansos dari anggaran daerah memang tanpa dilabeli stiker dan spanduk petahana karena akhir-akhir ini dilarang oleh Bawaslu. Namun, kehadiran petahana dalam setiap seremoni penyerahan bantuan sosial menjadi pesan yang sangat kuat untuk mengajak (kembali) pilih petahana.

Undang-undang pilkada jelas melarang penggunaan anggaran sebagai salah satu bentuk penggunaan wewenang kepala daerah yang menguntungkan pasangan calon. Pasal 71 UU Pilkada menyebutkan 6 (enam) bulan sebelum KPU menetapkan pasangan calon. Tapi jika secara eksplisit mempelajari pasal ini, frase “menguntungkan pasangan calon” belum bisa diukur tanpa adanya pasangan calon. Istilah hukumnya adalah contradictio in terminis.

Bagaimana mungkin perbuatan penyalahgunaan wewenang kepala daerah yang menguntungkan paslon akan terjadi sebelum penetapan paslon? Sehingga pembuktian terhadap ada atau tidaknya keuntungan yang diperoleh pasangan calon dalam pilkada sama sekali tidak dapat dibuktikan.

Semakin buruknya kondisi ekonomi akibat pandemi menjadikan dinamika politik lokal memberi ruang munculnya pilkada paslon tunggal. Tidak berlebihan jika praktik oligarki dipengaruhi oleh kuasa finansial dan politik, atau juga dipengaruhi oleh relasi dinasti keluarga. Mengapa? Karena kondisi masyarakat oportunis. Hanya ambil keuntungan. Kenyang lebih penting daripada hura-hura pilkada.

Konsolidasi Masyarakat Sipil
Seperti penulis uraikan di atas realitas calon tunggal menurunkan kualitas demokrasi. Tentu, kondisi pandemi mengakibatkan potensi petahana tampil dominan sebagai calon tunggal. Namun justru itu, upaya konsolidasi demokrasi masyarakat sipil menjadi keharusan. Konsolidasi demokrasi bisa didorong dengan dimulainya kemitraan strategis antara penyelenggara pilkada, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan pemantau pilkada.

Bawaslu dan pemantau memiliki peran besar dalam menaikkan kualitas demokrasi, melalui kerja pengawasan dan pelaporan pelanggaran. Organisasi kepemudaan misalnya, dapat didorong sebagai pemantau pilkada. Sebagai pemantau pilkada memiliki legal standing dalam pilkada sebagai pelapor atas pelanggaran pilkada, juga sebagai pemohon dalam sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: