#MediaTempoPengkhianatBangsa: Perang Framing di Era Digital
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman, Rina Juwita.-(Foto/Dok. Pribadi)-
Sebagai akademisi, saya percaya komunikasi seharusnya membuka ruang bertanya, bukan hanya ruang berteriak. Karena bertanya itu bagian dari mencintai.
Mencurigai semua suara yang berbeda sebagai musuh, hanya akan membuat kita miskin percakapan. Dan bangsa yang miskin percakapan, cepat atau lambat akan miskin peradaban.
Karena itu, dalam melihat gaduh #MediaTempoPengkhianatBangsa, saya lebih memilih mendengar dengan jarak.
Bukan karena saya setuju atau tidak setuju, tapi karena saya percaya: emosi perlu diproses, bukan dikumandangkan mentah-mentah.
BACA JUGA: Abstraksi Tugu Pesut: Ketika Seni Visual Berhadapan dengan Identitas Kultural
Dan di tengah semua kegaduhan itu, saya teringat kata-kata Benjamin Franklin:
“Whoever would overthrow the liberty of a nation must begin by subduing the freeness of speech.”
Kebebasan berbicara, termasuk berbicara untuk mengkritik media, harus dijaga. Tapi harus pula dibedakan antara mengkritik dan membungkam. Antara mencintai bangsa dengan akal sehat, atau sekadar mencintai diri sendiri dalam baju patriotisme palsu.
Karena dalam dunia komunikasi, siapa yang terlalu cepat menuduh, bisa jadi sedang terlalu lambat memahami.(*)
Penulis: Rina Juwita (Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
