Baru 30 Persen Perusahaan Sawit Tergabung GAPKI, Ini Dampaknya bagi Mitigasi Karhutla
Ketua GAPKI Kaltim, Rachmat Perdana Angga saat diwawancara terkait komitmen pencegahan karhutla.-(Disway Kaltim/ Salsa)-
BACA JUGA: Anomali Cuaca Akibat Perubahan Iklim, Kaltim Siaga Karhutla
Selain regu pemadam, perusahaan anggota GAPKI wajib menyediakan embung berkapasitas minimal 800 meter kubik per 500 hektare.
Selanjutnya menara pantau kebakaran, sarana transportasi, pompa air induk dan cincing, alat komunikasi GPS, perlengkapan individu seperti helm dan baju pemadam, serta papan peringatan kebakaran di lokasi rawan.
"Semua itu sudah tertuang dalam pedoman teknis GAPKI. Kami juga sudah menyampaikan surat edaran kepada anggota, melakukan sosialisasi regulasi secara online dan offline, termasuk simulasi pemadaman bersama kelompok tani peduli api," jelas Rachmat.
Ketua Bidang Sustainability GAPKI Nasional, Bambang Dwi Laksono menyatakan komitmen organisasi untuk menjadi mitra strategis pemerintah daerah dan pusat dalam merumuskan kebijakan yang kondusif untuk pengelolaan sawit berkelanjutan.
BACA JUGA: Dampak Karhutla, ISPA Jadi Ancaman Kesehatan Warga IKN
"GAPKI secara konsisten akan mendukung kebijakan pemerintah, terutama terkait lingkungan hidup dan tata kelola kebun tanpa bakar," imbuhnya
Dalam kesempatan itu, Bambang juga memaparkan bahwa musim kemarau di Kaltim diprediksi BMKG akan mencapai puncak pada bulan Agustus 2025, dengan curah hujan rata-rata terendah sekitar 142 mm per bulan.
Ia menyebut, selain edukasi dan pengawasan internal, GAPKI terus mendorong perusahaan yang belum bergabung agar ikut serta dalam skema kolektif penanganan karhutla dan kepatuhan regulasi.
"Kita tidak bisa hanya berharap pada penindakan. Konsolidasi dan pemahaman regulasi harus merata," tegas Bambang.
BACA JUGA: Warga Intu Lingau Gelar Aksi di DPRD Kubar, Tuntut Pengembalian Tanah hingga Realisasi Plasma Sawit
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dalam kesempatan yang sama menegaskan pentingnya keberadaan GAPKI sebagai wadah koordinasi kebijakan dan pengawasan di sektor perkebunan sawit.
Meski demikian, ia menyebut, keanggotaan GAPKI baru mencakup sekitar 30 persen perusahaan sawit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
"Kami telah memandatkan bahwa penilaian perusahaan akan mempertimbangkan apakah mereka anggota GAPKI atau tidak. Sebab itu penting untuk memastikan tidak ada yang berjalan sendiri-sendiri dalam pengendalian kebakaran," ungkap Hanif.
Menurutnya, konsolidasi menjadi kunci, lantaran tidak mungkin pemerintah daerah menangani mitigasi risiko kebakaran secara terpisah di lebih dari 300 unit usaha perkebunan yang tersebar di dua provinsi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
