Darurat, Jepang Krisis Beras, Potensi Cuan untuk Indonesia
Pemandangan antrean beras subsidi di Jepang. -REUTERS-
Pemerintah Jepang pun untuk pertama kalinya menggunakan cadangan beras mereka. Bisanya cadangan beras ini hanya digunakaan saat terjadi bencana alam. Tapi kondisi berkata sebaliknya.
Pekan lalu, awal bulan Juni, antrean yang sangat panjang dan berjam-jam terjadi di seluruh supermarket di Jepang.
PM Jepang Ishiba pun langsung membentuk komite kabinet khusus, guna membahas reformasi kebijakan beras yang dianggap sangat mendesak.
Ia bahkan telah memecat menteri pertanian sebelumnya dan mengangkat Shinjiro Koizumi, putra mantan PM Junichiro Koizumi, sebagai pengganti.
Menurut Direktur Canon Institute of Global Studies yang juga pakar pasar beras Jepang, Kazuhito Yamashita, menyebut selama ini Jepang bertahun-tahun berusaha melindungi petani dalam negerinya dari persaingan beras manca negara.
BACA JUGA:Los Angeles Memanas, Kerusuhan Protes Imigran Berujung Kekerasan
Termasuk dengan melalukan impor beras terbatas. Selama puluhan tahun itu, kebijakan pemerintah hanya fokus pada peningkatan harga beras dalam negeri guna meraih suara penduduk pedesaan yang sangat penting.
Namun, kenaikan harga telah memukul jutaan keluarga di perkotaan dan membuat inflasi pun menjadi masalah politik yang lebih luas buat pemerintah.
Banyak pihak yang mengritik program pemerintah yang disebut “set-aside”, yakni upaya memberi insentif kenaikan harga beras kepada petani dengan mengurangi produksi beras sehingga harga naik. Program ini berakhir tahun 2018.
“Program set-aside selalu menjadi masalah,” kata Yamashita.
BACA JUGA:UMKM Kopi Binaan BRI Tembus Pasar Internasional, Ikut Pameran Kopi Dunia di Amerika
“Jika Jepang beralih ke subsidi, seperti di negara lain, segalanya akan berubah. Petani akan mampu membeli lebih banyak lahan pertanian, menurunkan biaya melalui skala, dan memproduksi lebih banyak beras.”
“Jepang bisa menjadi pengekspor beras berkualitas tinggi secara global jika kebijakannya tidak mendorong ke arah yang berlawanan selama ini,” tambahnya.
Meskipun jumlah petani yang bekerja di Jepang telah menurun menjadi kurang dari 1% dari total populasi, namun mereka tetap menjadi kelompok yang penting.
“Penurunan populasi sebenarnya makin memudahkan buat petani untuk mencapai konsensus politik yang kompak,” ujar Kunio Nishikawa, pemerhati beras Ibaraki University.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

