Adapun, Keluhan masyarakat biasanya muncul karena proses rekrutmen dianggap tertutup. Informasi hanya beredar di kalangan tertentu, pendaftaran dilakukan tidak melalui kanal resmi, atau mekanisme seleksi tidak disampaikan secara terbuka.
Kondisi semacam ini, kata Agusriansyah, berpotensi memunculkan asumsi negatif di masyarakat.
"Kalau informasinya tidak dibuka, akhirnya masyarakat berasumsi macam-macam. Itu yang harus dihindari,"ujarnya.
Di beberapa daerah, muncul pula usulan agar pemerintah kecamatan atau desa mengambil alih proses penerimaan tenaga kerja untuk memastikan pemerataan peluang kerja bagi warga setempat.
Namun Agus menilai pola itu tidak tepat dan justru berpotensi menambah masalah baru. Desa maupun kecamatan tidak memiliki struktur, kompetensi, atau perangkat untuk memverifikasi kemampuan tenaga kerja.
"Kalau semua diakomodir pemerintah desa atau pemerintah kecamatan, malah jadi repot. Mereka bukan lembaga rekrutmen,"imbuhnya.
Menurutnya, peran labor supply yang ideal adalah lembaga yang memiliki kapasitas memadai, termasuk memiliki BLK sendiri. Pekerja yang disalurkan seharusnya sudah melalui pelatihan, bukan sekadar pendaftaran administratif.
"Lebih bagus labor supply yang memiliki BLK sendiri. Artinya, pekerja yang dikirim itu sudah dipersiapkan, bukan sekadar didata kemudian dikirim,"jelasnya.
BACA JUGA: Temukan Data 'Error', Bupati Kutim Instruksikan Verifikasi Ulang Angka Putus Sekolah
Agus juga menekankan bahwa perusahaan harus selektif dalam memilih mitra penyedia tenaga kerja. Perusahaan wajib memastikan lembaga yang diajak bekerja sama memahami kebutuhan industri, memiliki fasilitas pelatihan, serta mampu mencetak tenaga kerja yang siap pakai.
"Kebutuhan industri itu spesifik. Jadi perusahaan harus bekerja sama dengan lembaga yang benar-benar siap dari sarana dan prasarananya," tambahnya.
Sebaliknya, jika labor supply hanya berperan sebagai perantara dan tidak memiliki kapasitas pelatihan, persoalan baru akan muncul. Selain menimbulkan ketidaksiapan tenaga kerja, mekanisme seperti itu membuka ruang tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah desa atau kecamatan.
"Kalau sifatnya hanya perantara, tidak memberikan pelatihan, itu nanti bisa tumpang tindih dengan peluang pemerintah desa. Itu yang harus di-clear-kan," tegasnya.
BACA JUGA: Teknologi Pemantau Tidur Pekerja PT PAMA Tuai Pro-Kontra di Kutai Timur
Ia menilai bahwa pembenahan tata kelola rekrutmen tenaga kerja kini menjadi semakin penting, terutama karena Kaltim sedang berada dalam masa percepatan pembangunan industri, hilirisasi mineral, dan persiapan Ibu Kota Nusantara (IKN).