IKN, NOMORSATUKALTIM - Dari arah Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN), di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, jalan agregat C membentang menembus hutan tanaman industri.
Jalanan ini kasar, hanya ditutup batu yang ditumpuk dengan pasir batu (sirtu). Rumput tumbuh di sana-sini. Kabel listrik besar menjulur sepanjang jalan, sementara di beberapa titik tiang terlihat miring bahkan rebah.
Di ujung jalan, tampak panel surya berkilauan memantulkan cahaya matahari. Barisan modul berjejer di lahan bergelombang, sebagian masih dikelilingi tanaman eukaliptus.
Di atas lahan seluas 86 hektare inilah, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) IKN berdiri. Berkapasitas 50 Megawatt, proyek ini menjadi ikon transisi energi bersih di ibu kota yang baru dibangun ini.
Namun di balik kilauannya, terdapat kisah warga adat yang ruang hidupnya makin menyempit.
Ruang Hidup yang Menyempit di Sepaku Lama
Di Sepaku Lama, kawasan yang dikenal warga dengan sebutan Logdam, Udin (64) tinggal di rumah panggung sederhana, di area permukiman masyarakat adat Suku Balik. Sejak usianya masih sekitar 16 tahun, ia biasa ikut orang tuanya keluar-masuk hutan mencari madu, damar, dan rotan.
"Dulu semua mudah. Mau damar, mau madu, tinggal masuk hutan," ia mengisahkan kepada NOMORSATUKALTIM, 19 Oktober 2025.
Rotan dijual ke pasar di Balikpapan, harganya sekitar Rp 30 ribu per pikul. Damar bisa terkumpul hingga dua karung dalam sehari. Sementara madu hutan menjadi pengganti gula yang sulit diperoleh.
BACA JUGA: Jokowi Groundbreaking PLTS 50 MW di IKN, Realisasikan Konsep Green Energy
“Kalau tidak madu, ya air tebu diperas," Udin menceritakan. "Orang dulu tidak pernah kena gula, tidak ada penyakit.”
Sebagai warga adat Suku Balik, Udin mulai merasakan perubahan sejak akhir 1970-an. Hutan di sekitar kampungnya dibabat, kayu-kayu diangkut keluar dari kawasan. Pohon ulin banyak diambil untuk bahan bangunan, termasuk atap sirap yang sempat populer.
Kini, akses ke hutan makin terbatas. Sebagian kawasan masuk konsesi perusahaan besar yang dijaga ketat. "Kalau ketahuan bisa ditangkap. Padahal itu hutan tempat hidup kami sejak lama," ungkap Udin.
Sekitar 10 kilometer dari Logdam, di Kelurahan Pemaluan, Sani (91), berasal dari keluarga Suku Balik yang pindah dari Balikpapan ke Sepaku. "Sepaku itu tempat pelarian orang tua kami. Tidak mau tinggal di kota ramai, maunya di pelosok,” katanya.
Sani ingat, saat usia 15 tahun, berjalan kaki sehari semalam dari Balikpapan menuju Sepaku, menelusuri sungai. Usia 16, ia mulai ikut masuk hutan. "Waktu itu masih hutan alam. Kalau rotan atau damar mau, gampang sekali," tuturnya.
Puncak pembabatan hutan terjadi pada akhir 1979. Saat itu, menurut Sani, area tutupan di sekitar Pemaluan terbuka lebar dan menyisakan sedikit ruang bagi warga untuk mengakses hasil hutan.