Habis Eukaliptus Terbitlah Panel Surya: PLTS IKN dan Dilema Lingkungan di Kaltim

Sabtu 25-10-2025,12:00 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Hariadi

Hasil analisis citra satelit Auriga menunjukkan indikasi pembukaan hutan di titik lain di kawasan IKN. 

Pada periode Januari-September 2025, terdapat 5 titik indikasi deforestasi, meski masih perlu diverifikasi. "Pola ini menunjukkan, pembangunan PLTS hanya bagian dari tren pembukaan lahan yang lebih luas di kawasan IKN," Supin menerangkan.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menilai pemerintah hanya menyoroti emisi yang dihindari, sekitar 44 ribu ton CO₂ per tahun. 

Sedangkan emisi yang dilepas akibat pembukaan lahan belum dikalkulasi. “Karbon di vegetasi dan tanah ikut terlepas. Potensinya bisa lebih besar daripada angka penghindaran emisi tahunan," ia menguraikan.

FWI pun menyoroti aspek transparansi. Menurut Anggi, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) PLTS tidak terbuka untuk publik. Padahal, seharusnya ada kajian menyeluruh seperti kehilangan keanekaragaman hayati, gangguan tata air, hingga dampak sosial. Tanpa keterbukaan, sulit memastikan transisi energi ini benar-benar berkelanjutan," tandas Anggi.

Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Timur (Walhi Kaltim) menilai pembangunan PLTS memperlihatkan paradoks. "Walaupun arealnya eks-HTI, tetap ada fungsi ekologis yang hilang,” ujarnya. Sebab, eukaliptus juga menyerap karbon. Sehingga, ketika ditebang, emisi tetap dilepaskan," kata I Putu Agus Yudiantara, Manager POR dan Spatial.

BACA JUGA: Dishut Kaltim Tegaskan Pengawasan Izin HTI Aktif, Tanggapi Laporan Jejak Deforestasi ke Pasar Eropa

Ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang membebaskan proyek ini dari kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Mereka menilai keputusan tersebut melemahkan industri energi nasional, karena sebagian besar material utama masih diimpor. "Yang paling diuntungkan justru investor asing dan penyedia teknologi dari luar negeri.”

Dari sisi manfaat, Walhi menilai listrik PLTS IKN tidak ditujukan bagi warga sekitar, melainkan untuk kawasan inti pemerintahan. "Prosesnya eksklusif. Masyarakat lokal tidak dilibatkan, dan bukan penerima manfaat langsung," kritiknya.

Ia menekankan pentingnya keterbukaan sejak awal, mulai dari penentuan lokasi, pembebasan lahan, hingga analisis dampak lingkungan. Dengan membuka ruang partisipasi publik, kata Putu, pemerintah bisa mencegah munculnya konflik dan ketidakpercayaan, sekaligus memberi kesempatan masyarakat ikut mengawasi jalannya proyek strategis nasional seperti PLTS IKN.

Akademisi: Masih dalam Koridor Transisi Hijau

Pandangan berbeda datang dari kalangan akademisi. Rudianto Amirta, akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, menilai pembangunan PLTS di IKN masih bisa ditempatkan dalam kerangka transisi energi berkelanjutan, selama lokasinya di lahan HTI, bukan hutan alam.

Menurut Rudianto target nol emisi 2045 masih realistis. PLTS di IKN dibangun di kawasan HTI eukaliptus, bukan hutan primer atau sekunder yang punya biodiversitas tinggi. HTI sering disebut 'gurun hijau' karena monokultur dan miskin keanekaragaman. Kalau yang dikorbankan lahan semacam itu, dampaknya jauh lebih kecil dibanding membuka hutan alam.”

Dari sisi emisi, Rudianto Amirta merujuk data PLN yang menghitung pembukaan lahan seluas 86 hektare melepaskan sekitar 44 ribu ton CO₂. Namun, operasi PLTS berkapasitas 50 MW diproyeksikan mampu menekan emisi hingga 104 ribu ton CO₂ per tahun. Dengan begitu, emisi yang dihindari dipandang jauh lebih besar dibandingkan pelepasan awal akibat pembukaan lahan.

Fungsi ekologis yang hilang pun disebut terbatas. Sebagai tanaman monokultur, eukaliptus tidak mendukung keanekaragaman hayati. Jika dibuka, perubahan iklim mikro memang terjadi, tapi tidak sebesar dampak kehilangan hutan alam. Dari sisi tata air, eukaliptus justru dikenal menyerap air tanah dalam jumlah besar. “Sehingga ketika dialihfungsikan menjadi PLTS, tekanan terhadap cadangan air dianggap lebih terkendali," ia melanjutkan.

Meski begitu, Rudianto mengingatkan, perlu prinsip kehati-hatian. Risiko ekologis seperti fragmentasi habitat dan peningkatan suhu lokal tetap ada. Karena itu, setiap pembangunan energi terbarukan sebaiknya diimbangi dengan restorasi atau revegetasi di lahan kritis, serta diarahkan ke lokasi non-hutan. Penataan ruang yang ketat dinilai penting untuk mencegah ekspansi ke kawasan lindung.


Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Nusantara (IKN), tampak rumah dinas menteri dan latar Istana Presiden pada malam hari.-(Disway Kaltim/ Salsa)-

Kategori :