Bankaltimtara

Menjelajahi FOMO: Mengapa Kita Takut Tidak Diperhatikan di Dunia Online?

 Menjelajahi FOMO: Mengapa Kita Takut Tidak Diperhatikan di Dunia Online?

Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom--

Oleh: Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom

DALAM era media sosial yang serba cepat, rasa takut tertinggal atau Fear of Missing Out (FOMO) menjadi fenomena komunikasi yang semakin nyata.

Setiap notifikasi, unggahan teman, atau tren viral bisa memicu dorongan untuk selalu terhubung seolah absen sebentar berarti kehilangan sesuatu yang penting. FOMO bukan sekadar persoalan psikologis, tetapi juga persoalan komunikasi: bagaimana individu membangun, menegosiasikan, dan mempertahankan citra dirinya di ruang digital yang tak pernah tidur.

FOMO dan Budaya Keterhubungan Digital

FOMO muncul dari kebutuhan manusia untuk diterima dan diakui. Dalam perspektif ilmu komunikasi, hal ini berkaitan erat dengan teori identitas sosial dan teori interaksi simbolik, manusia membangun makna diri melalui interaksi dengan orang lain.

Media sosial memperluas ruang interaksi tersebut, tetapi juga mempertebal tekanan sosial.

“Like”, komentar, dan jumlah pengikut menjadi simbol validasi diri. Akibatnya, banyak pengguna merasa harus selalu hadir, aktif, dan relevan agar tidak “terhapus” dari percakapan sosial digital. FOMO membuat komunikasi digital bergerak cepat dan impulsif.

Orang lebih sering berbagi untuk terlihat ada, bukan untuk benar-benar menyampaikan makna. Fenomena ini menciptakan budaya keterhubungan yang intens namun dangkal dekat secara virtual, tetapi kadang jauh secara emosional.

Komunikasi dan Krisis Perhatian

FOMO juga mencerminkan krisis perhatian (attention crisis) di era digital. Individu berlomba-lomba mempertahankan eksistensi di tengah banjir informasi dan algoritma yang menuntut keaktifan terus-menerus.

Dalam konteks ini, komunikasi menjadi instrumen untuk membuktikan keberadaan diri. Sayangnya, ketika komunikasi hanya digunakan untuk mengejar perhatian, makna sejatinya hilang.

Dialog berubah menjadi monolog kolektif setiap orang berbicara, tetapi sedikit yang benar-benar mendengarkan. FOMO menumbuhkan kebiasaan komunikasi yang reaktif: cepat merespons, takut ketinggalan, dan sulit berhenti.

Ini menjelaskan mengapa sebagian orang merasa cemas jika tidak membuka media sosial dalam waktu lama.

Dari FOMO ke JOMO: Membangun Komunikasi yang Sehat

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: