Menyoal Predikat Indonesia sebagai Negara Maju

Menyoal Predikat Indonesia sebagai Negara Maju

OLEH: M. FUAD TINGAI V.J.*

Amerika Serikat (AS) telah mencabut predikat beberapa negara di dunia yang awalnya negara berkembang menjadi negara maju. Hal ini juga dirasakan Indonesia sebagai negara berkembang. Yang selalu mendapatkan keistimewaan dalam relasi ekonomi dunia. Secara tiba-tiba berganti menjadi negara maju.

Pencabutan predikat ini bukan tanpa alasan. Merujuk pada United States Trade Representative,mereka memberikan persyaratan bagaimana suatu negara dapat dikatakan sebagai negara maju. Yaitu dengan mengukur Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto per kapita, share of world trade atau andil negara dalam perdagangan dunia, keanggotaan negara dalam organisasi internasional yakni Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Group of Twentys (G20).

Berdasarkan fakta, GNI Indonesia menurut World Bank berada pada titik US$ 3.840.00. Angka GNI ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpendapatan menengah ke bawah. Namun dalam andil perdagangan dunia, Indonesia berperan kuat dan ikut dalam G20. Namun lagi-lagi jika kita melihat negara-negara lain dalam keanggotaan G20, rata-rata mereka memiliki GNI per kapita di atas $ 12.375. Tentu Indonesia memiliki angka GNI di bawahnya.

Pencabutan status ini sebagai suatu langkah yang buru-buru. Bahkan menurut ekonom Indef Aviliani, perubahan ini tak masuk akal. Di sisi lain, Indonesia juga tak memenuhi semua syarat untuk menjadi negara maju versi USTR. Yang berbeda dengan syarat dari World Bank.

Adanya pencabutan ini bisa menjadi “ancaman baru” bagi Indonesia. Pasalnya akan memperkeruh kerja sama ekonomi antar kedua negara. Seperti ekspor ke AS akan turun. Bunga utang akan mengembang. Kemungkinan juga Indonesia tak lagi menerima insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences yang tak hanya dari AS, melainkan juga dari negara lain seperti Jepang, Australia, dan Uni Eropa. Oleh karena itu, hal ini akan sangat memberikan dampak kerugian yang cukup memangkas perekonomian Indonesia.

***

Tak salah kemudian banyak orang yang memprediksi hal ini akan menjadi proses menuju perang dingin yang baru. Persaingan ketat antara Amerika dan China sangatlah tampak. Alih-alih penyebaran ideologi seperti dulu, sekarang ekonomi menjadi komoditas utama yang diperebutkan.

Tak menutup kemungkinan hal ini menyeret Indonesia ke dalam perang dagang tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan defisityang dirasakan oleh AS. Salah satunya juga dipengaruhi perdagangan dengan Indonesia.

Web resmi USTR menjelaskan, defisit perdagangan barang dan jasa AS dengan Indonesia menginjak angka $ 11,3 miliar pada 2018. Dengan adanya defisit ini, tentu akan mempengaruhi kekuatan mereka dalam perang dagang.

Berkaca pada kesejahteraan yang belum merata, rasanya belum tepat untuk Indonesia menyebut diri sebagai negara maju. Walaupun menurut Cigna Indonesia, negara ini mengalami peningkatan dalam angka kesejahteraan dari yang 61,0 menjadi 65,4. Namun terkadang angka besar tak menggambarkan apa yang terjadi di masyarakat. Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, mungkin kita memiliki angka yang relatif rendah. Sehingga bagaimana bisa kita disebut sebagai negara maju?

Pemerintah sebaiknya sesegera mungkin menyusun rencana dalam jangka waktu singkat dan jangka panjang. Untuk menghadapi “citra baru” negara ini. Jangan sampai ekonomi Indonesia mengalami defisit yang sangat signifikan.

Di lain sisi, mau tak mau masyarakat juga harus paham apa yang telah terjadi dan siap menghadapi ancaman-ancaman ekonomi selanjutnya. Juga lebih berhati-hati melihat setiap bentuk konspirasi. Karena kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah.

Dewasa ini, negara yang memiliki ekonomi kuat akan menggerakkan sistem ekonomi dunia. Terkhusus AS. Yang dapat dikatakan Indonesia terikat kuat dengan mereka dalam sektor ekonomi. Ditambah lagi adanya China sebagai rivalnya. Yang juga mulai mengikat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: