Hoaks di Pilkada dan Peran Purifikasi Penyiaran

Hoaks di Pilkada dan Peran Purifikasi Penyiaran

OLEH: ANDI MUHAMMAD ABDI*

Hoaks merupakan konsekuensi dari inovasi teknologi. Setiap hari informasi mengalir begitu deras dan berserak. Keberlimpahan informasi kerap tidak terbendung dan tidak berbanding lurus dengan kemampuan untuk menyerapnya. Perbedaan antara informasi benar dan bohong kian samar dan tercemar.

Bagi sebagian pihak, hoaks adalah momok. Namun tak sedikit yang memanfaatkan hoaks untuk kepentingan politik. Dalam Pilkada, hoaks sering kali digunakan sebagai sarana kampanye hitam untuk menyerang dan membunuh karakter pesaing. Pada 27 Februari lalu, Ketua Bawaslu RI Abhan menegaskan, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian lewat media sosial merupakan salah satu potensi kerawanan dalam Pilkada serentak 2020.

Oleh karena itu, polarisasi di tengah masyarakat akibat penyebaran hoaks wajib dihalau. Mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia cukup signifikan. Berdasarkan laporan We Are Social terbaru, pada 2020 ada sebanyak 175,4 juta atau lebih dari 64 persen pengguna internet di Indonesia. Populasi Indonesia berjumlah 272,1 juta jiwa. Artinya, setengah penduduk Indonesia mengakses dunia maya.

SURVEI SOAL HOAKS

Selama periode Agustus 2018 hingga November 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengidentifikasi 3.901 berita hoaks. Berdasarkan hasil verifikasi Tim Automatic Identification System (AIS)Kominfo, hoaks kategori politik mendominasi di angka 973 item. Disusul 743 hoaks kategori pemerintahan dan 401 hoaks kategori kesehatan.

Survei wabah hoaks yang dilakukan Masyarakat Telematika (Mastel) pada 1-15 Maret 2019 mengungkap hal serupa. Berdasarkan hasil surveinya, hoaks yang paling tinggi adalah isu sosial politik (93,2%). Disusul isu sara (76,2%), dan isu kesehatan (40,70%). Bentuk hoaks paling sering diterima melalui tulisan 70,7%, foto dengan caption palsu 66,3%, dan berita/foto/video lama di-posting ulang 69,2%. Saluran penyebaran hoaks paling tinggi melalui sosial media sebesar 87,50%. Disusul aplikasi chatting 67,00% dan web media 28,20%.

Hoaks dalam panggung politik nyata berbahaya. Penyebaran hoaks dapat menyulut konflik dan renggangnya kohesi sosial. Praktik hoaks dapat membentuk persepsi keliru di benak publik melalui informasi yang tendensius. Mereka yang menjadi korban hoaks dapat merugi secara serius. Meliputi kerugian secara psikologis, politik, ekonomi, bahkan merenggut nyawa.

Kronisnya, hoaks membuat fakta tidak lagi menjadi acuan. Fakta objektif tidak mampu memengaruhi opini masyarakat dan dianggap tidak relevan. Masyarakat akhirnya menerima atau menolak kebenaran bukan lagi berdasarkan fakta yang benar. Melainkan pada keyakinan dan selera secara emosional.

Tidak sedikit yang mengira suatu berita hoaks bukanlah informasi palsu. Lantaran mendapatkan berita dari orang yang dipercaya. Banyak pula yang terpapar berita hoaks karena dipengaruhi pilihan politik. Karena terbawa ujaran kebencian. Selain itu, ada pula yang terkecoh oleh informasi hoaks karena narasinya yang meyakinkan.

Dalam konteks Pilkada, semburan hoaks berpotensi membara di masa pra, jelang, dan pasca pemilihan. Di fase sebelum pemilihan, hoaks disebar untuk merusak kejernihan publik dalam menilai para kandidat. Semakin dekat hari pemilihan, ragam serangan hoaks acap kali semakin masif. Hoaks bisa berasal dari suporter fanatik salah satu kandidat maupun diorganisir oleh jasa profesional. Sementara di fase pasca pemilihan, hoaks dapat menyasar reputasi penyelenggara dan kinerja penyelenggaraan Pilkada. Sehingga berujung konflik dan delegitimasi terhadap hasil Pilkada.

PERAN PURIFIKASI PENYIARAN

Menyikapi potensi hoaks misinformasi dan disinformasi di masa Pilkada, lembaga penyiaran memegang peran penting. Lembaga penyiaran perlu mengaktualkan fungsi informasi yang menjernihkan dan mencerahkan publik.

Pertama, menjadi referensi keakuratan berita. Di tengah kecemasan publik terhadap berita di media sosial, lembaga penyiaran harus menjadi rujukan yang kredibel. Syaratnya, lembaga penyiaran wajib menegakkan UU 32/2002 tentang Penyiaran, P3SPS, dan Kode Etik Jurnalistik yang menjembatani sisi etis dan produksi teknis informasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: