Antara Proteksi dan Degradasi Ideologi Negara

Antara Proteksi dan Degradasi Ideologi Negara

OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI*

Polemik tentang diskursus pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi (RUU HIP) Pancasila terus bergulir. Untuk menilai urgensi dari RUU tersebut. Respons atas diskursus isu ini ternyata banyak mendapat penolakan dari beberapa kalangan. Penolakan terjadi dari kalangan akademisi yang dilakukan melalui pengkajian intensif kedudukan aturan. Kemudian kalangan ulama pun tidak ketinggalan terlibat dalam penolakan tersebut. Karena RUU tersebut dianggap bisa menjadi ancaman ideologi negara Indonesia.

Dasar penolakan RUU HIP dari beberapa kalangan masyarakat adalah muatan RUU tersebut dianggap berpotensi mendegradasi kedudukan Pancasila. Sebagai bentuk keseriusan penolakan, 34 pimpinan MUI se- Indonesia menyatakan sikap untuk mendesak DPR menghentikan pembahasan RUU tersebut. Kemudian penolakan juga datang dari Rachmat Wahab selaku Ketua Dewan Pakar Institut KH. Hasyim Muzadi. Beliau menyatakan, isi RUU HIP bisa implikasi buruk bagi negara pasca berlakunya aturan tersebut.

Akibat banyaknya elemen masyarakat yang menolak pemberlakuan RUU HIP, DPR sepakat untuk menunda pembahasannya. Pada masa penundaan ini harus dijadikan waktu yang tepat bagi para anggota legislatif untuk mengkaji ulang. Apakah RUU ini menjadi kebutuhan atau tidak? DPR perlu menyerap lagi aspirasi-aspirasi dari masyarakat. Sebagai bentuk representasi lembaga. Aspirasi tersebut tentu memiliki urgensi sebagai bahan pustaka referensi kajian.

Kontroversi penolakan RUU HIP tidak lain karena berpotensi memunculkan kembali esksistensi paham komunisme di Indonesia.  Dalam Pasal 6 RUU HIP setidaknya memuat kata kunci yang terdiri dari trisila dan ekasila yang menjadi muatan Pancasila. Trisila merupakan konsep Pancasila yang terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian trisila tersebut terkristalisasi dalam ekasila: gotong royong.

Makna gotong royong dari ekasila ini dianggap bisa mendegradasi ideologi Pancasila berdasar prinsip ketuhanan. Apabila konsep ekasila ini berlaku, paradigma Pancasila yang dasar utamanya adalah ketuhanan bisa bergeser ke paradigma gotong royong. Ketika terjadi pergeseran paradigma ketuhanan pada kandungan utama Pancasila, tentu ini menjadi ancaman buruk karena akan terbuka pintu bagi paham komunisme untuk muncul kembali ke Tanah Air.

Puncak kiritikan pada RUU HIP diakibatkan karena ketentuan “mengingat” undang-undang tidak ada TAP MPRS NO. XXV/MPRS/1966. Dasar TAP MRPS tersebut merupakan dasar pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemudian kedudukan “mengingat” pada suatu aturan hukum positif merupakan dasar yuridis pembentuan suatu peraturan. Penyusunan aturan yang membahas Pancasila seharusnya tidak lepas dari TAP MPRS di atas. Secara historis telah terjadinya peristiwa upaya penggantian ideologi Pancasila di masa lalu. Maka kedudukan TAP MPRS ini menjadi penting sebagai jaminan bahwa Pancasila tidak akan terusik kembali. Ketika tidak ada TAP MPRS dalam ketentuan “mengingat”, ini bisa diasumsikan bahwa RUU HIP memang menginginkan munculnya paham komunisme yang bertentangan dengan Pancasila.

Dalam kasus lain, sebenarnya diperlukan suatu aturan sebagai proteksi ideologi negara dari ancaman-ancaman yang sempat muncul maupun ancaman di masa depan. Saat ini harus dipahami bahwa Pancasila mengalami benturan dengan nilai peradaban. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang berprinsip kebebasan, bahaya laten komunisme serta ancaman radikalisme harus dijauhkan dalam kehidupan bangsa.

Kedudukan RUU HIP sebenarnya bisa menjadi dasar aturan proteksi Pancasila dari ancaman ideologi lain. Ketentuan Pasal 1 angka RUU HIP mengatur definisi HIP sebagai dasar kebijakan dan evaluasi urusan kenegaraan dari berbagai aspek yang menjadi indikator nilai-nilai Pancasila pada tatanan kehidupan. Berdasarkan pasal tersebut, kedudukan aturan memiliki peran sebagai pengawal implementasi Pancasila dalam kehidupan. Selain itu, ketika ada suatu haluan konkret dalam implementasi Pancasila, ancaman-ancaman ideologi lain yang tidak akan mudah mereduksi nilai-nilai fundamental Pancasila. Sehingga Pancasila tetap terjaga.

Berdasarkan permasalahan di atas, muatan RUU HIP ini lebih ke potensi degradasi ideologi. Namun juga perlu proteksi ideologi. Apabila diperlukan aturan untuk proteksi ideologi, RUU HIP bisa diundangkan. Dengan syarat, RUU ini tidak ada ketentuan pasal yang bisa berdampak mendegradasi Pancasila. Konsepsi murni Pancasila berdasar ketuhanan yang terdapat dalam UUD 1945 harus menjadi patokan utama. Sehingga tidak akan ada lagi polemik perdebatan di masyarakat yang berpandangan tentang potensi munculnya paham komunisme. Karena RUU ini tidak mengatur terkait konsepsi sila-sila pada Pancasila kembali. Melainkan fokus mengatur pengawalan implementasi Pancasila di Indonesia.

Harapan ketika diundangnya RUU HIP yang fokus implementasi ini bisa mewujudkan nilai-nilai konkret Pancasila dalam tatanan hidup masyarakat Indonesia. Saat ini, banyak generasi muda yang tertarik budaya-budaya asing daripada budaya Indonesia. Tentu ini bisa berdampak terkikisnya identitas bangsa akibat pengaruh budaya luar. Kedudukan RUU HIP ini yang akan menjadi pedoman edukasi untuk menguatkan keutuhan identitas ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup kembali. Khususnya bagaimana melakukan transisi konseptual dan nilai dalam tataran praksis operasional. Dengan kata lain, bagaimana nilai ideal Pancasila yang universal tidak hanya diderivasikan ke domain nilai-nilai instrumental dalam ranah pembentukan peraturan perundang-undangan saja. Akan tetapi bagaimana nilai-nilai ideal Pancasila juga bisa terinternalisasi pada nilai-nilai praktis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Polemik diskursus RUU HIP di kalangan masyarakat terjadi akibat muatan RUU berpotensi mendegradasi ideologi Pancasila. Di sisi lain, Pancasila memerlukan aturan proteksi agar tidak tereduksi oleh paham-paham lain. Terlepas dari perdebatan antara proteksi dan degradasi, hal yang paling penting untuk Pancasila saat ini adalah soal implementasi. Dibutuhkan suatu aturan sebagai haluan ideologi Pancasila yang tidak fokus membahas esensi permasalahan sila dan perlindungan saja. Melainkan aturan yang bisa menjadi pedoman pelaksanaan nilai-nilai konkret Pancasila dalam kehidupan di Indonesia. (*Pemerhati Hukum dan Alumni Pascasarjana FH Universitas Brawijaya)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: