Menegaskan Ulang Urgensi Iklan Layanan Masyarakat

Menegaskan Ulang Urgensi Iklan Layanan Masyarakat

OLEH: ANDI MUHAMMAD ABDI*

Lembaga penyiaran adalah entitas yang mendua. Satu sisi sebagai institusi ekonomi yang berorientasi laba. Sisi lainnya mengemban tanggung jawab sosial. Frekuensi milik publik yang digunakan oleh lembaga penyiaran untuk memperoleh manfaat ekonomi harus sepadan dengan kewajiban untuk melayani kepentingan publik. Dalam konteks inilah membincang peran Iklan Layanan Masyarakat (ILM) menjadi krusial.

ILM, berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, adalah siaran iklan non-komersial yang disiarkan melalui radio atau televisi. Dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, atau pesan-pesan lainnya. Untuk memengaruhi masyarakat. Agar berperilaku sesuai dengan pesan iklan tersebut.

Kehadiran ILM pertama kali dipelopori oleh Biro Iklan Intervista pada 1968. Bertujuan menanggulangi masalah mercon (petasan). Yang pada saat itu menimbulkan banyak korban cacat hingga kematian di Indonesia. Kemudian diikuti oleh Biro Iklan Matari Ad yang mengangkat makna hubungan ibu dan anak pada 1974.

Di negara-negara maju, ILM telah dimanfaatkan untuk memperbaiki masalah-masalah yang menyangkut kebiasaan masyarakat atau perubahan nilai. Suatu upaya untuk menggerakkan solidaritas masyarakat terhadap masalah yang mereka hadapi: kondisi yang bisa mengancam keserasian dan kehidupan umum (Khasali, 1990).

ILM pada hakikatnya kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan khusus. Yang berdimensi perubahan sosial. Dalam istilah Kotler disebut sebagai social change campaigns: kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait (Venus: 2004).

Sudah sepatutnya jika setiap lembaga penyiaran mengalokasikan waktu untuk ILM. Kewajiban ILM bagi setiap lembaga penyiaran televisi maupun radio diatur melalui Undang-Undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Pasal 46 ayat (9) Undang-Undang Penyiaran mengatur kewajiban lembaga penyiaran publik menyediakan paling sedikit 30 persen ILM dari 15 persen siaran iklan komersilnya. Kemudian untuk lembaga penyiaran swasta diwajibkan menyediakan paling sedikit 10 persen dari total 20 persen siaran iklan komersil per hari. Adapun terhadap lembaga penyiaran komunitas yang dibolehkan hanya menayangkan ILM. Siaran iklan komersil tidak diperkenankan.

Dalam Pasal 60 ayat (3) P3SPS menegaskan, program siaran ILM wajib ditayangkan secara cuma-Cuma. Untuk ILM yang menyangkut keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, kesehatan masyarakat, dan kepentingan umum lainnya yang disampaikan oleh badan-badan publik.

IMPLEMENTASI ILM

Sebelum masa pandemi, implementasi ILM bagai jauh panggang dari api. Kewajiban untuk memenuhi alokasi ILM 10 persen dari kumulatif iklan komersil yang tayang dalam sehari kerap diabaikan. Masih terdapat lembaga penyiaran yang belum tertib dalam menunaikan “zakat” ILM yang notabene adalah hak publik. Justru terdapat penayangan siaran iklan komersil yang melebihi ketentuan 20 persen.

Tak dapat dimungkiri pemenuhan ILM masih problematis. Kendala yang sering mengemuka antara lain: Pertama, keterbatasan SDM lembaga penyiaran. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Kedua, problem anggaran yang kurang memadai. Ketiga, lemahnya kesadaran dari lembaga penyiaran. Di samping itu, pada aspek kualitas konten, materi ILM kerap tidak mengakomodir kepentingan publik. Kurang menarik dan kehilangan relevansi dengan permasalahan aktual yang terjadi. Sehingga kebermaknaan dan manfaatnya kurang terasa oleh masyarakat.

Berbeda halnya di masa pandemi COVID-19. Kepedulian lembaga penyiaran di Kaltim untuk menyiarkan ILM, yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 meningkat signifikan. Seluruh lembaga penyiaran berlomba-lomba berpartisipasi dalam menyiarkan ILM. Baik yang diproduksi sendiri maupun yang bersumber dari Kementerian Kesehatan serta institusi lainnya. 

Jika mencermati tren selama pandemi, kesanggupan untuk memenuhi kewajiban ILM sebenarnya dimiliki oleh lembaga penyiaran. Terbukti selama masa pandemi kenaikan ILM cenderung merata pada seluruh jenis lembaga penyiaran. Persoalan mendasar memang terletak pada kesadaran dan kemauan yang kuat untuk menunaikannya. Sebagai industri kreatif, sudah selayaknya kreativitas lembaga penyiaran dapat melahirkan ILM berkualitas di tengah keterbatasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: