Memenuhi Kebutuhan Rasa Aman Siswa saat Pandemi Corona
OLEH: YOGA ACHMAD RAMADHAN*
Pemerintah saat ini menyiapkan protokol fase new normal. Untuk aktivitas warga di tengah pandemi corona (COVID-19). Pemberlakukan new normal merupakan alternatif untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi yang terpuruk karena virus corona. Pemerintah menyiapkan tatanan new normal di perkantoran, usaha industri, dan instansi. Ada kekhawatiran new normal ini juga akan berlaku pada sektor pendidikan: sekolah atau lembaga pendidikan. Sebab, kabar kegiatan belajar di sekolah kembali diberlakukan normal sudah mencuat di publik.
Terlepas dengan polemik perdebatan mengenai new normal, penulis menyatakan bahwa new normal tidak bisa dihindari. Di mana cepat ataupun lambat masyarakat akan menjalaninya. Khususnya dunia pendidikan. Selanjutnya yang perlu difikirkan adalah bagaimana mempersiapkan mental para siswa menghadapi suatu kondisi yang penuh dengan ketidakpastian. Mengabaikan hal ini akan menimbulkan dampak psikologis yang buruk bagi siswa. Sehingga berdampak pada terhambatnya kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Menurut Abraham Maslow (1970), kebanyakan tindakan manusia, termasuk kegiatan belajar menampilkan usaha untuk memuaskan kebutuhan. Kebutuhan tersebut bersifat hierarkis. Kebutuhan di tingkatan yang lebih rendah harus dipuaskan terlebih dahulu secara memadai sebelum kebutuhan di urutan yang lebih tinggi. Terhambatnya pemenuhan kebutuhan di suatu tingkat akan menghambat tercapainya kebutuhan di tingkat berikutnya. Dan tentu saja akan berdampak negatif pada perilaku pembelajaran.
Kebutuhan fisiologi merupakan urutan terbawah dalam hirarki. Terkait dengan kebutuhan pada makanan, udara, dan air. Kebutuhan ini penting dan mendasar untuk dipenuhi. Misalnya seorang siswa yang kelaparan tidak mungkin akan fokus belajar. Karena kebutuhan fisiologisnya untuk makan tidak terpenuhi. Bila kebutuhan ini terpenuhi, maka individu akan bergerak untuk meraih kebutuhan yang lebih tinggi: kebutuhan akan keamanan.
Kebutuhan keamanan mencakup keamanan lingkungan dan mampu mengatasi suatu keadaan yang penuh bahaya. Misalnya, siswa yang merasa aman berada dalam lingkungan yang sehat dan bebas dari virus. Rasa aman para siswa tentunya lahir dari suatu kepercayaan bahwa lingkungan pembelajaran dalam kondisi yang aman dari ancaman COVID-19. Namun bagaimana rasa percaya tersebut hadir, jika faktanya kondisi suatu lingkungan yang terbebas dari virus merupakan suatu ketidakpastian. Hal ini menimbulkan defisiensi keamanan pada diri seorang anak.
Teori hirarki ini menunjukkan bahwa tidaklah realistis mengharapkan siswa belajar dengan baik di sekolah jika mereka menghadapi defisiensi keamanan. Anak yang datang ke sekolah dengan defisiensi keamanan tidak bisa fokus dalam pembelajaran di kelas. Defisiensi yang parah atau berkepanjangan bisa menimbulkan masalah mental.
Oleh karena itu, penulis menawarkan beberapa saran kepada pihak-pihak yang berwenang. Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang dibukanya lembaga pendidikan dalam masa new normal. Salah satunya memastikan terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman pada siswa dan orang tua. Pemerintah juga perlu memperhatikan kemampuan berfikir serta perilaku siswa. Terutama pada kelompok usia 5 sampai 11 tahun yang belum memiliki kemampuan untuk melakukan pengendalian infeksi. Baik di sekolah maupun saat tiba di rumah. Rentang usia ini sangat riskan untuk dapat memiliki kesadaran agar senantiasa menggunakan masker, rajin mencuci tangan, dan lain sebagainya.
Kedua, guru dapat bekerja sama dengan konselor, kepala sekolah, dan pekerja sosial untuk membantu keluarga anak atau membuat program agar anak merasa aman. Karena tidak terpenuhinya rasa aman akan menimbulkan gangguan. Baik di rumah ataupun di sekolah.
Ketiga, orang tua tidak menunjukkan rasa cemas yang berlebihan terhadap kondisi pandemi. Sebab anak belajar (modelling) dari perilaku orang tua. Jika orang tua cemas, maka anak juga akan merasa cemas. Orang tua perlu melatih anak untuk berperilaku sesuai dengan protokol kesehatan. Sekaligus berpikir secara realistis. Orang tua juga bisa didorong untuk merancang lingkungan rumah yang mendukung pembelajaran, meminimalisasi gangguan dan mengajari anak kemampuan untuk menenangkan diri.
Keempat, guru dan pengelola sekolah juga dapat mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan siswa, orang tua, komunitas dan penegak hukum. Untuk mengembangkan strategi efektif menghilangkan kekhawatiran soal keamanan. Ketika suasana yang tepat tercipta, guru harus memberikan aktivitas yang bisa siswa selesaikan dengan sukses. Salah satunya berupa pelatihan protokol COVID-19 yang menyenangkan.
Kelima, sikap guru yang menyenangkan dan mampu menunjukkan penerimaan terhadap kondisi new normal. Guru diharapkan dapat mengedukasi serta memonitor pelaksanaan protokol kesehatan dalam sekolah tanpa menunjukkan kecemasan yang berlebihan. Memberikan penguatan perilaku (reinforcement) melalui pujian/ganjaran atau segala perilaku positif siswa lebih disarankan daripada pemberian hukuman atas perilaku negatif siswa.
Terakhir, penulis menyatakan apresiasi sebesar-besarnya atas keandalan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengembangkan berbagai bentuk pembelajaran jarak jauh. Termasuk bentuk kegiatan belajar daring. Hal ini disarankan untuk tetap dilanjutkan. Mengingat sulitnya melakukan pengendalian transmisi apabila terbentuk kerumunan di sekolah/lembaga pendidikan. Serta mempertimbangkan bahwa pembelajaran jarak jauh merupakan pembelajaran yang tetap mampu memenuhi kebutuhan rasa aman bagi siswa maupun orang tua.
Semoga dengan terpenuhinya kebutuhan rasa aman ini juga diikuti dengan terpenuhinya kebutuhan pada tingkatan yang selanjutnya: kebutuhan terhadap kebersamaan (cinta kasih) dan keyakinan, serta tercapainya kebutuhan aktualisasi diri bagi siswa. (*Dosen Fakultas Psikologi Untag 1945 Samarinda dan Psikolog Pendidikan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: