Keterbukaan Informasi Publik di Era New Normal
OLEH: IMRAN DUSE*
Salah satu hikmah yang dapat diwarisi dari bencana pandemi COVID-19 ialah masyarakat menjadi semakin familiar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa laporan bahkan menyebut tingkat penggunaan internet di Tanah Air meningkat hingga 40 persen di tengah kecamuk wabah ini. Akselerasi dan penguatan masyarakat informasi mendapatkan momen yang baik.
Namun, tentu bukan tanpa residu. Gelombang informasi tersebut juga berpotensi (dan ini sudah terbukti) melahirkan infodemik: membanjirnya berita-berita hoaks. Informasi dan berita hoaks begitu mudah berkembang di tengah masyarakat.
Karena itu, komunikasi publik yang efektif dari penyelenggara negara sangat diperlukan. Selain memaksimalkan pengendalian pandemi COVID-19, khususnya di era kenormalan baru ini, juga untuk meluruskan dan menangkal informasi-informasi hoaks dan membingungkan publik.
Dengan komunikasi publik yang efektif, informasi penanganan COVID-19 dan agenda lanjutannya diharapkan dikonfirmasi publik sebagaimana mestinya. Hal terpenting di sini ialah keterbukaan dari penyelenggara negara. Khususnya terkait pilihan haluan kebijakan publik.
Hal ini bersesuaian dengan spirit yang dikandung dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Berdasarkan undang-undang ini, maka pemerintah dan seluruh badan publik memiliki kewajiban tidak saja mengumumkan dan menyediakan informasi itu, tetapi juga memberikan kemudahan akses kepada publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya murah, dan cara sederhana.
Pasal 10 ayat (1) UU KIP mengatur tentang kewajiban badan publik untuk “mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum”. Sementara di ayat (2) disebutkan “kewajiban menyebarluaskan informasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami”.
Rezim pengaturan keterbukaan informasi dewasa ini memang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Di era sebelum reformasi, paradigma pengaturan informasi publik adalah “semua informasi bersifat tertutup. Kecuali informasi yang dibuka”. Sementara saat ini, paradigmanya menjadi “semua informasi bersifat terbuka. Kecuali yang dikecualikan”.
Bahkan dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, hak atas informasi publik ini telah diadopsi dalam konstitusi negara dan diatur dalam Pasal 28F UUD 1945. Dengan dimasukkannya hak atas informasi dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tersebut, hal menegaskan negara mengakui hak atas informasi sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Selain tentu saja sebagai hak konstitusional warga negara.
Dengan kata lain, negara mengakui dan menjamin hak atas informasi sebagai hak yang melekat pada seluruh rakyat Indonesia. Baik dalam kapasitas sebagai warga negara maupun sebagai pribadi.
Jelas bahwa regulasi tersebut melindungi warga negara dan memberikan jaminan atas hak warga negara terhadap informasi. Bahkan warga negara berhak mengetahui rencana pembuatan suatu kebijakan publik. Termasuk alasan pengambilan keputusan publik tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat (3) UU KIP, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan kewajibannya itu, “Badan publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah”.
UU KIP juga mengamanatkan tersedianya informasi pada suatu badan publik secara terpusat pada PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi). Dengan cara ini, berbagai jenis informasi yang sebelumnya tersebar dan tidak tertata, akan dikelola dengan efektif dan efisien. Sehingga tersusun rapi, terklasifikasi, dan memudahkan akses bagi pengguna informasi.
***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: