Dominasi Teknologi dan Kehidupan setelah Pandemi
DALAM pidatonya pada tanggal 10 April 2020 lalu, Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yasin menyebutkan bahwa saat ini telah muncul norma-norma baru dalam kehidupan masyarakat di dunia akibat keberadaan virus COVID-19 yang menyebar luas dengan sangat cepat. Kondisi ini disinyalir akan menjadikan cara kita menjalani kehidupan sehari-hari akan berubah dalam jangka panjang. Di Indonesia sendiri, pemerintah pusat, melalui Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 50 Tahun 2020 dan Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB Nomor 13A Tahun 2020 telah mengumumkan untuk memperpanjang keadaan darurat hingga 29 Mei 2020. Hal ini kemudian sedikit banyak, tentunya melahirkan norma, cara-cara baru bagi umat Islam yang tengah menjalani ibadah suci bulan Ramadhan. Meskipun keputusan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tersebut bisa saja dicabut sewaktu-waktu, sebelum waktunya berakhir jika hasil evaluasi tim satgas COVID-19 menyatakan situasi telah berangsur membaik, tapi tentunya kehidupan kita akan berjalan secara berbeda jika dibandingkan dari sebelum pandemi terjadi. Jabatan tangan, berkumpul di keramaian, ritual ibadah, bahkan ruang kantor dan ruang belajar akan berubah dari sudut pandang kultural, ekonomi dan sosial. Mari kita coba bayangkan bagaimana kondisi dunia di tahun 1918 saat pandemi flu Spanyol menyebar luas ke seluruh dunia. Di mana saat itu hanya karantina, menjaga kebersihan dengan baik, dan desinfektan saja yang dapat digunakan untuk menahan laju pandemi. Sehingga tidak ada satupun, jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, yang dapat dilakukan saat masyarakat diharuskan berada dalam ruang-ruang isolasi tertutup. Berbeda dengan yang terjadi di masa sekarang ini. Cepatnya konektivitas, serta beragamnya alat komunikasi mampu membantu sektor ekonomi untuk tetap bergerak. Berdasar atas kondisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi komunikasi terbukti memegang peranan penting dalam memenuhi ragam kebutuhan kita masyarakat. Bahkan di lapangan situasi tersebut telah mampu menciptakan pasar yang lebih besar bagi para pemain baru untuk turut serta, masuk dalam arena permainan. Berbagai aplikasi meeting online, seperti Google Meet, Zoom dan Webex memungkinkan kita untuk tetap melaksanakan berbagai rapat dan pertemuan, dan memunculkan konsep WFH (Working From Home), SFH (Studying From Home), dan bahkan beribadah massal secara virtual yang bertentangan dengan konsep ruang tertutup yang telah biasa kita gunakan sejak lama. Tidak sedikit juga para pemuka agama, melaksanakan mimbar daring agar pengikutnya tetap bisa melaksanakan ibadah meskipun harus dilakukan dari rumah masing-masing. Tidak lupa buku panduan dan video melalui YouTube disiapkan agar kehikmatan ritual tetap terjaga saat mengikuti ibadah yang disiarkan secara live melalui media sosial Facebook atau Instagram yang disiarkan dari rumah ibadah. Berbagai sekolah dan perguruan tinggi beralih menggunakan kelas-kelas online dan virtual, serta tidak sedikit para guru dan dosen harus berjuang beradaptasi untuk menemukan cara untuk dapat tetap melaksanakan proses belajar mengajar sambil merawat anak-anak mereka yang juga harus dirumahkan. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud mengembangkan sistem pendidikan secara daring melalui Google Indonesia, Kelas Pintar, Microsoft, Quipper, Ruangguru, Sekolahmu, dan Zenius; selain dari portal belajar milik Kemendikbud sendiri, yakni Rumah Belajar. Namun demikian, di sisi lain, masih banyak celah yang harus diisi terutama berkaitan dengan standar dan prosedur kesehatan, serta operasional dan pemanfaatan ruang publik yang pastinya juga harus mengalami perubahan saat pandemi ini dinyatakan berangsur pulih. Yang pertama, tata ruang dan tata letak pabrik, perkantoran dan bangunan publik lainnya. Harus ditinjau kembali guna memungkinkan diterapkannya jarak sosial dan kebersihan tempat bersama. Pembatasan ini tentunya kemudian akan mempengaruhi perhitungan biaya, alur operasional kegiatan dan model usaha dari berbagai lembaga dan bangunan yang dimilikinya. Kedua, setiap lembaga mulai harus menyeimbangkan kembali kebutuhan sumber daya manusianya untuk bekerja secara langsung di tempat, bekerja dari jauh (work from home), serta operasional sehari-hari. Seperti misalnya, perusahaan manufaktur perlu memikirkan kembali strategi otomatisasinya untuk tetap bisa mempertahankan kapasitas; perguruan tinggi perlu memperhitungkan kembali prosentase kehadiran fisik para pengajarnya dalam proses belajar mengajar; dan para pebisnis mungkin juga harus mempertimbangkan untuk melakukan rotasi bergiliran para karyawannya yang bekerja dari rumah. Karena pada faktanya, seperti yang terjadi saat ini, telah muncul dua bentuk penyesuaian dalam ruang publik sebagaimana yang disebutkan di atas untuk dapat dioptimalisasikan dengan bantuan penggunaan simulasi perangkat lunak mutakhir yang mampu membantu memenuhi aktivitas manusia dan kecukupan ruang kegiatan sehari-hari. Sejauh ini, jelas kiranya bahwa pergeseran norma yang terjadi saat ini telah melampaui sekedar aspek layanan panggilan video dan konferensi online. Namun juga telah mengubah banyak aspek kehidupan yang bersandar pada keberadaan teknologi; termasuk aspek pendidikan, pemerintahan, perdagangan, layanan kesehatan, layanan religi, dan sebagainya. Meskipun demikian, hal ini tentunya memerlukan kemampuan teknologi yang bisa bergerak dengan sangat cepat seperti layanan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan realitas virtual (VR). Di Indonesia sendiri contoh kemampuan untuk cepat beradaptasi dalam penggunaan teknologi yang banyak mendapat sorotan publik, ada di bidang pendidikan yang saat ini dipaksa harus melaksanakan proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan segala keterbatasan infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki demi tetap bisa memenuhi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkelanjutan. Berbagai aplikasi dan program dikembangkan baik di tingkat regional maupun lembaga pendidikan untuk menunjang hal tersebut. Konvergensi berbagai media dan teknologi informasi yang tersedia digunakan agar tujuan yang ingin dicapai bisa dilaksanakan dengan semaksimal mungkin di tengah keterbatasan.. Memang, berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan oleh We Are Social, ada sekitar 64% dari total populasi di Indonesia yang merupakan pengguna internet, yaitu setara 175,4 juta jiwa, dan menempati posisi ketiga terbesar di dunia dalam penggunaan perangkat mobile. Namun demikian, hampir sebagian besar dari pengguna aktif tersebut berada di kota-kota besar yang itupun hanya memiliki kecepatan koneksi di kisaran 13,83 Mbps yang berada cukup jauh dari rata-rata dunia di angka 20,11 Mbps. Sementara bagi mereka yang tinggal di wilayah pelosok, tidak dapat dipungkiri bahwa televisi, apalagi ponsel pintar masih merupakan kemewahan yang harus dilengkapi dengan kuota yang juga terbilang mahal, fasilitas listrik yang belum tentu ada 24 jam, dan sinyal yang tidak selalu memancar kuat untuk digunakan. Mungkin sebagian di antara kita sempat membaca kisah viral Guru Avan di Madura. Ia harus melawan ketentuan physical distancing pemerintah karena harus mengunjungi murid-muridnya satu persatu karena tak ada ponsel yang bisa mereka pergunakan untuk belajar jarak jauh. Atau bahkan sebagian kita pernah melihat film Sakola Rimba yang rilis tahun 2013 lalu yang menggambarkan dengan jelas bahwa masih banyak daerah di Indonesia ini yang jauh dari kata memiliki infrastruktur yang memadai. Namun demikian, meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikejar oleh pemerintah terkait pemerataan infrastruktur bagi kehidupan masyarakat Indonesia, kita patut bersyukur bahwa dengan banyaknya keterbatasan yang ada di sekeliling kita dalam upaya memaksimalkan peluang integrasi penggunaan teknologi informasi terkini, kita sebenarnya cukup mampu beradaptasi bahkan hanya dalam hitungan hari. Padahal, biasanya, dalam kondisi normal, bentuk-bentuk perubahan tersebut bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan terkadang bertahun-tahun untuk bisa diterima dan diterapkan. Semua fenomena ini kemudian memunculkan pertanyaan; di masa mendatang, seberapa besar dan cepat kiranya kemampuan adaptif kita bisa bertahan untuk terus mampu menciptakan, menggunakan dan mengadopsi teknologi baru seperti saat ini? Apakah akan masih bisa seperti sekarang ini? Di mana proses perubahan integrasi teknologi nyaris minim resistensi. Atau mungkin kita akan kembali lagi pada kondisi sebelum pandemi COVID-19 terjadi? Bertahan dengan sistem konvensional yang rigid dengan perubahan baru. Kalau infrastruktur belum merata, harga kuota tidak murah untuk dijamah, dan kekuatan sinyal masih di bawah rata-rata, bisa jadi perubahan yang sudah kita adaptasi saat ini akan perlahan kembali lagi pada kebiasaan lama. Semua tergantung kita. Apapun yang kiranya terjadi nanti, mumpung masih suasana Ramadan di tengah karantina corona, mari kita ramaikan maya dengan kegiatan berfaedah. Selamat menjalankan puasa, stay home and stay safe. (*/Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: