Omnibus Law Cipta Kerja untuk Kepentingan Siapa?
Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja kini sedang dibahas di DPR RI untuk segera disahkan. Melalui kewenangan Omnibus Law ini, rezim pemerintahan Jokowi akan memangkas sejumlah UU dengan tujuan memperlancar investasi. Menurutnya, investasi bisa mengurangi defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Selain itu, kemudahan investasi hingga tingkat pemerintah daerah (Pemda) yang didukung pihak keamanan akan mempermudah pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini disampaikan dalam Rakornas Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (Forkopimda) pada November 2019 lalu (cnbcindonesia). Selain itu salah satu isi draff RUU ini tentang formula baru upah minimum pekerja/buruh ditujukan agar investor tak pergi. Menurut Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Hukum, Dini Purwono, mengatakan bahwa selama ini, ia menilai banyak pemodal yang kabur karena tingginya upah minimum di Indonesia, sehingga investasi di Indonesia menurun. Maka formula baru dalam pengupahan ini ditujukan agar para investor tak pergi dari Indonesia (tempo.co). Dari sini, jelas terlihat, rezim Jokowi semakin memudahkan kepentingan para investor yang notabene merupakan kaum kapitalis untuk bercokol di negeri ini. Padahal, banyak kalangan yang menolak RUU tersebut karena berpotensi melahirkan rezim yang otoriter sebagaimana tanggapan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto yang menyebut Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja merupakan bentuk sikap otoriter pemerintah. Ada dua hal yang beliau soroti, pertama adalah aturan yang menyebut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) berhak memecat kepala daerah yang dinilai tidak menjalankan proyek strategis nasional. Yang kedua adalah penghapusan kewajiban para perusahaan untuk mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Menurutnya hal tersebut bisa mengurangi fungsi kontrol dari pemerintah daerah (www.cnnindonesia.com). Dalam draf RUU ini formula pembayaran upah buruh akan diubah berdasarkan hitungan jam. Dengan skema ini, buruh yang menjalankan hak cuti atau tidak bekerja sementara karena sakit tidak mendapat upah. Walhasil buruh makin termarjinalkan. Upah buruh yang rendah selama ini menjadi salah satu daya tarik investasi di Indonesia. Omnibus Law diterbitkan untuk menyenangkan investor, meski harus menekan para buruh dan menyengsarakan mereka. Dampaknya adalah potensi ketimpangan ekonomi semakin besar di negeri ini. Permasalahan ketimpangan ekonomi nasional memang tengah menjadi momok bagi negara ini. Namun, dalam menanganinya rezim pemerintahan ini seolah tidak mempunyai resep lain kecuali membuka kran-kran investasi secara besar-besaran atau kembali berhutang. Sejatinya, investasi dan hutang adalah alat yang digunakan para Kapitalis untuk semakin mengeratkan cengkraman kekuasaan mereka di negeri jajahannya. Inilah gambaran jelas bahwa rezim ini adalah rezim korporatokrasi, dimana penguasa disetir untuk mengikuti kemauan korporasi dalam proses legislasi. Islam sebagai sebuah pandangan hidup, tidak akan menjadikan jalur investasi sebagai jalan terciptanya lapangan pekerjaan. Islam bahkan mewajibkan negara memenuhi kebutuhan dasar individu melalui mekanisme bekerja. Dengan penerapan Islam secara kaffah melalui institusi khilafah akan diterapkan beberapa kebijakan. Pertama, membuka lapangan pekerjaan dengan proyek-proyek produktif pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dikelola oleh negara dan bukan diserahkan kepada investor. Kedua, islam memosisikan kontrak kerja sebagai akad jasa dengan adanya suatu kompensasi. Kompensasi ini disebut upah. Besarnya upah bisa diklasifikasikan menjadi dua yakni upah yang telah ditentukan (ket: berdasar kesepakatan pemberi kerja dan pekerja) dan upah yang sepadan (ditentukan oleh orang/lembaga yang ahli menetapkan upah, misalnya lembaga profesi tertentu). Jika ada sengketa antara pemberi kerja dan pekerja terkait upah, maka pengadilan atau negaralah yang berhak menentukan ahli pengupahan untuk mereka. Mekanisme ini akan mewujudkan keadilan bagi kedua belah pihak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang dizalimi. Islam memisahkan antara upah dengan kebutuhan hidup. Terpenuhinya kebutuhan dasar adalah tanggung jawab negara pada seluruh rakyatnya. Bukan kewajiban pemberi kerja pada pekerja. Negara dalam konsep Islam, yakni khilafah, menjamin semua kebutuhan dasar rakyatnya. Pemberi kerja tinggal berpikir bagaimana untuk mengupah pekerjanya sesuai jasa dan manfaat yang diberikan. Pengusaha tidak dipusingkan UMR/UMK, inflasi, demo buruh, dan lain-lain. Karena buruh telah terpenuhi hak dasar dan juga upahnya secara profesional. Buruh juga sejahtera karena layanan kesehatan, keamanan, dan pendidikan disediakan gratis oleh khilafah. Buruh tinggal bekerja dengan hati tenang, menjemput rizki dari. Jika masih ada buruh berupah rendah karena produktivitasnya rendah, khilafah akan menilik penyebabnya. Jika kurang terampil, akan diberi keterampilan melalui kursus gratis oleh negara. Jika fisiknya lemah karena tua, cacat, atau sakit, negara akan memasukkannya dalam golongan fakir atau miskin yang berhak mendapat zakat dan santunan dari negara. Khilafah akan berkhidmat untuk mengurusi urusan umat (riayatu syu’unil ummat) dengan menerapkan syariat Islam secara kafah sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad). Wallahu a'lam bish showwab. (*/Aktivis Dakwah Muslimah Balikpapan).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: