Efek Kebijakan Pusat Terhadap Honorer di Kukar

Efek Kebijakan Pusat Terhadap Honorer di Kukar

OLEH: TONI KUMAYZA* Setiap kebijakan akan menimbulkan pro dan kontra. Karena kebijakan tidak akan memuaskan setiap orang. Ketika dimintai komentar tentang situasi di Kutai Kartanegara (Kukar) akibat kebijakan pemerintah pusat, saya optimistis hal ini untuk penyehatan birokrasi. Pertama, rekrutmen pegawai akan lebih terstandar berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Khusus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), bisa merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Kita tahu, rekrutmen honorer selama ini lebih bernuansa spoil system. Jejak khususnya pun masih dapat ditelusuri. Berbagai status yang melekat pada pegawai honorer (honor daerah, nota dinas, THL, dst.) memberikan ketidakpastian karir pada mereka. Kedua, PPPK justru memberi kejelasan pola rekrutmen, hak dan kewajiban, pengembangan kompetensi, bahkan dapat menduduki jabatan fungsional hingga jabatan pimpinan tinggi. Bedanya apa dengan ASN? Yang berbeda hanya PPPK tidak mendapat uang pensiun. Ketiga, kompetensi dan kompetisi menjadi pertimbangan utama. Rekrutmen PPPK akan seperti rekrutmen CPNS dengan uji kompetensi yang sama dan batas umur lebih fleksibel. Untuk PPPK, usia pelamar minimal 20 tahun dan maksimal kurang satu tahun dari masa jabatan yang dilamar. Apakah Anda fresh graduated dari perguruan tinggi bersaing dengan honorer yang masa kerja di atas 10 tahun? Semua akan berlomba melamar dengan persaingan yang setara. Tentu di sini pegawai honorer akan merasa keberatan. Karena masa kerja mereka sia-sia. Selama ini dengan masa kerja, mereka menginginkan langsung pengangkatan. Tunggu dulu. Kita cari orang yang bisa bekerja. Bukan lama kerja. Walaupun tidak menutup kemungkinan honorer berkualitas tercipta dari pengalaman mereka bekerja. Keempat, jumlah PPPK akan lebih proporsional dibandingkan sebelumnya. Karena pengadaan tersebut berdasarkan analisis kebutuhan dan beban kerja organisasi. Tujuannya kita dapat melakukan penghematan belanja pegawai. Melihat kebutuhan daerah dan pertimbangan lainya, maka PPPK untuk jadi tenaga pendidik dan kesehatan, penyuluh pertanaian perikanan, dan peternakan. Terutama mereka yang bekerja di daerah terpencil, pegawai dengan resiko kerja seperti badan penanggulangan bencana, pemadam kebakaran, dapat diprioritaskan. Implikasi sosial tentu ada. Terutama birokrasi merupakan lapangan pekerjaan satu-satunya di Kukar. Roda ekonomi di Kukar bergerak atas dorongan belanja birokrasi. Sektor-sektor lain di luar pertambangan dan perkebunan belum begitu menjanjikan bagi daerah ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statitistik (BPS) 2019, pertanian berkontribusi terbesar kedua setelah pertambangan. Kontribusinya 12,98 persen bagi PDRB 2018 di Kukar. Sektor tersebut ditunjang sektor perikanan, peternakan, dan komoditas padi dan jagung. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemangku kepentingan selanjutnya untuk meningkatkan sektor ini di luar pertambangan dan perkebunan. Semakin banyak peluang-peluang kerja terbuka di sektor non birokrasi pemerintahan daerah, kiranya dapat menjadi solusi bagi jumlah honorer yang begitu fantastis di daerah ini. (qn/*Dosen Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: