Rusak Demokrasi dan Masa Depan Bangsa, Komite HAM: Korupsi jadi Kanker Stadium Akhir

Rusak Demokrasi dan Masa Depan Bangsa, Komite HAM: Korupsi jadi Kanker Stadium Akhir

Komite HAM Dalam 30 Hari di Kalimantan Timur saat menggelar aksi simbolik di depan Kantor Gubernur Kaltim -istimewa-

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Dalam memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HARKODIA) 2024, Komite Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Timur menggelar aksi cosplay simbolik, pada Senin (9/12/2024) pagi.

Aksi yang berlangsung di depan kantor Gubernur Kaltim itu menyoroti tujuh institusi yang dianggap paling rawan korupsi di Indonesia.

Diantaranya presiden dan menteri, polisi, pebisnis, advokat, kepala daerah, pejabat pemerintah, serta anggota DPR dan DPD.

Untuk mendorong reformasi sistemik, aksi massa menggunakan kostum yang merepresentasikan institusi tersebut.

BACA JUGA : Pastisipasi Pemilih Pilkada 2024 Menurun, KPU Kaltim: Hanya 69,18 Persen

Humas Komite HAM, Diah menyampaikan, bahwasanya korupsi telah merusak demokrasi dan masa depan bangsa.

“Korupsi telah menjadi kanker stadium akhir yang merusak demokrasi dan masa depan bangsa,” ucapnya.

Adapun isu yang menjadi sorotan dalam peringatan ini yaitu tingginya angka golput pada Pilkada Serentak 2024.

Berdasarkan data LSI Denny JA, angka golput di tujuh provinsi besar Indonesia mencapai rata-rata 37,63 persen, meningkat 6,23 persen dibandingkan Pilkada 2019.

“Golput merupakan bentuk protes diam dari masyarakat yang kehilangan rasa percaya terhadap para calon pemimpin. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi kini berubah menjadi arena pesta kecil bagi kelompok elite, sementara masyarakat tetap menderita,” ujarnya.

BACA JUGA : KPU Kaltim Umumkan Hasil Pleno Rekapitulasi, Rudy-Seno Ungguli Petahana di Pilkada 2024

Diah menyebut, tingginya angka golput tersebut juga dikaitkan dengan tren politik dinasti yang kian menguat.

Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 37 provinsi di Indonesia ada 33 daerah yang terafiliasi dengan politik dinasti.

"Kekuasaan yang dikelola oleh lingkaran keluarga ini memicu peningkatan praktik kolusi dan nepotisme. Akhirnya itu akan berdampak pada tingginya angka korupsi," jelas Diah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: