Komedi dan Tragedi di Balik Banjir Samarinda

Komedi dan Tragedi di Balik Banjir Samarinda

OLEH: SYAMSUDDIN* “Semenjak kuda makan tembaga, banjir Samarinda sudah ada”. Itulah jenaka yang dilontarkan Gubernur Kaltim Isran Noor. Dalam menanggapi banjir di kawasan Samarinda di awal 2020 ini. Tidak hanya sekali, kalimat yang bernada komedi seringkali dilontarkan pejabat publik. Dalam menanggapi berbagai masalah di Kaltim. Jenaka itu dimaklumi di alam sadar warga Kaltim. Karena acap berulang. Bukan saja Gubernur Isran Noor, Wali Kota Samarinda Syahrie Jaang pun demikian dalam menanggapi kritik warganya, “Ikam hanyar-kah di Samarinda?” Ujuran-ujaran itu ramai berseliweran di sosial media dan menjadi jokes bagi warga Kaltim. Khususnya warga Samarinda yang acap terkena genangan banjir. Kita patut sesali menyebut banjir sebagai tragedi rendahan karena komedi. Ujaran-ujaran itu membunuh hal yang paling fitri dalam diri manusia: kemanusiaan. Seolah-olah banjir bukanlah tragedi. Melainkan komedi bagi para punggawa yang memegang penuh perencanaan dan pembangunan kota. Diotima dalam The Dialogeus of Plato pernah berujar, jika ingin melihat kebijaksanaan, lihatlah bagaimana perencanaan kota. Maksud Diotima adalah pembangunan kota mesti didasarkan kebijaksanaan. Kalimat yang telah disampaikan kepada publik oleh pejabat daerah di atas tentu bukanlah ciri kebijaksanaan. Kita berharap kebijaksanaan bukan hanya kata-kata. Tapi tanggung jawab yang dilimpahkan warga  kepada mereka yang terpilih sebagai pemimpin. Sudah cukup kita bersembunyi di balik “histori”. Yang bernada sinis. Samarinda sudah banjir semenjak dahulu kala. Penyataan ini bentuk apologia. Karena kita tidak memiliki hal substansial dalam mengatasi banjir. Kecuali mendekati pemecahan masalah dengan gaya lama: memperbesar anggaran. Di kepala kita hanya anggaran. Tetapi tidak ada upaya serius dalam pendekatan kultural. Menjadikan warga sebagai modal sosial terbesar dalam mengatasi banjir. Kita juga sering bersembunyi di balik intensitas hujan. Masalah utama banjir adalah saat intensitas hujan tinggi. Celakanya, kita tidak pernah belajar mengalkulasi berapa jumlah debit air hujan saat turun? Berapa tinggi dan rendah debit air sungai? Kita tidak punya datanya. Bagaimana bisa kita merencanakan penanggulangan tanpa ada data ilmiah yang obyektif? Sudah cukup kita bersembunyi di balik intensitas hujan yang membuat kita seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa. Atau justru ada keinginan mengembalikan banjir disebabkan oleh Tuhan. Kini kita semakin sulit membedakan antara tragedi dan komedi. Dalam tradisi Yunani, tragedi dan komedi adalah bentuk ekspresi seni yang mengungkapkan peristiwa tragis—kesedihan namun ditampilkan dengan gaya yang lucu. Seperti itulah fitrah warga. Ketika kata sudah tak bermakna dan tak mampu menyampaikan kepiluan, satu-satunya jalan mengekspresikan tragedi adalah komedi. Karena banjir sering melanda kawasan Samarinda, warga pun seolah-olah telah terbiasa menghadapinya. Kita masih menemukan gelak tawa warga ketika banjir menggenangi huniannya dan banjir menjadi media pelipur lara bagi anak-anak. Bukan saja di Samarinda. Banjir di DKI Jakarta pun dapat mengubah tragedi menjadi komedi. Padahal, setiap kali banjir melanda Samarinda, mata dan hati kita telah terang benderang mengetahui sebab awal banjir. Intensitas hujan dan letak geografis Samarinda yang rendah bukanlah sebab awal banjir. Melainkan berbagai faktor. Sebab, banjir di kawasan Samarinda berbeda penyebabnya di setiap titik. Dampaknya terlihat sama ketika intensitas hujan meningkat. Penyebabnya: pertama, kerusakan ekologi karena aktivitas industri manufaktur pertambangan yang mengepung wilayah Samarinda. Kedua, kerusakan lingkungan dan hunian yang tak teratur. Ketiga, drainase yang tidak mengalir air dan serapan air tanah yang tidak efisien. Keempat, peninggian jalan dengan beton. Air mencari aliran baru yang lebih rendah untuk menggenangi permukiman warga. Saya pikir kita punya perangkat untuk mengatasi berbagai faktor banjir. Agar banjir segera diatasi. Baik dengan kemampuan instansi, warga, maupun perguruan tinggi. Perguruan tinggi di Samarinda memiliki tanggung jawab akademik dan etis dalam merencanakan penanggulangan banjir. Begitupun pemerintah dan warga Samarinda. (qn/*Pegiat Samarendah Society)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: