Keterangan Lengkap Saksi Ahli: Kasus Mutasi 'AFF Sembiring vs Akmal Malik’

Keterangan Lengkap Saksi Ahli: Kasus Mutasi 'AFF Sembiring vs Akmal Malik’

DR Herdiansyah Hamzah (tanpa toga), memberikan keterangan sebagai ahli pada kasus sengketa mutasi Pejabat Pemprov Kaltim.-(Foto/Dok. FH UGM)-

Artinya, norma itu harus dibaca secara sistematis dan logis. Pertanyaanya adalah. Kenapa harus menggunakan frase paling singkat 2 tahun? Sederhananya, waktu paling singkat 2 tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja seorang pegawai ASN. Dalam batas penalaran yang wajar, 2 tahun inilah waktu yang dapat digunakan untuk menilai bagus tidaknya kinerja seseorang. Cukup untuk menganalisis seperti apa kinerja yang telah dilakukan oleh ASN.

Dengan demikian, objektivitas dalam penilaian dapat dilakukan oleh pimpinan atau atasan yang bersangkutan. 

Sebaliknya, jika atasan mengambil kesimpulan terhadap kinerja bawahannya kurang dari 2 tahun, maka penilaian sudah bisa dipastikan tidak komprehensif dan cenderung mengedepankan subjektiftas. Selain itu, ratio legis dalam frase “paling singkat 2 tahun” ini juga hendak memberikan jaminan dan perlindungan, khususnya kepada para pejabat pimpinan tinggi, dari kepentingan politik praktis. Sebab mereka rentan dipolitisasi oleh para pimpinannya masing-masing, sehinggi aspek politiknya jauh lebih kental dibanding tata kelola kinerja dan kepegawaiannya.

Ketentuan mengenai frase “paling singkat 2 tahun” ini kemudian ditafsirkan, bahkan seolah memberikan pengecualian berdasarkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2023 tentang Mutasi/Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi Yang Menduduki Jabatan Belum Mencapai 2 (dua) tahun (SE MempanRB Nomor 19 Tahun 2023). 

Namun demikian, mutasi dibawah 2 tahun, tidak bisa dilakukan secara serampangan. Bukan berarti mutasi dapat dilakukan sesuai dengan selera subjektif pimpinan. Dalam SE ini disebutkan bahwa, pimpinan tidak boleh melakukan mutasi kepada Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.

SE tersebut menegaskan bahwa pengaturan dimaksud bertujuan untuk memberikan perlindungan pejabat pimpinan tinggi dari kepentingan politik praktis sekaligus memberikan ruang dan kesempatan kepada pejabat pimpinan tinggi untuk melaksanakan tugas jabatan yang diembannya.

Meski demikian proses mutasi dapat dilakukan sepanjang didasarkan oleh penilaian kinerja, bukan hanya atas dasar suka dan tidak suka. SE ini menyebutkan bahwa, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS juga mengatur bahwa hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai salah satu persyaratan mutasi jabatan.

SE ini harus dibaca secara komprehensif. Ada beberapa catatan berkaitan dengan keberadaan SE ini, antara lain : Pertama, SE ini “overlap”, menyimpang terhadap ketentuan aturan perundang-undangan di atasnya. Meski SE dipahami sebagai peraturan kebijakan (beleids regel) yang berlaku secara internal, namun ia hanya akan dianggap legitimate keberadaannya jika tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang ada. Bahkan SE juga tidak memenuhi syarat untuk dikualifikasikan sebagai tindakan diskresi pejabat pemerintahan (discretional principle), sebab tidak ada ruang kosong dalam peraturan perundang-undang berkaitan dengan norma tentang batas minimal waktu mutasi. 

Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang dan peraturan turunannya, terutama terkait frase “paling singkat 2 tahun”. Kedua, jikalaupun SE ini ingin digunakan, maka keputusan itu juga harus tunduk terhadap pembatasan yang sifatnya merujuk kepada “penilaian kinerja”. Jadi ada semacam objektifikasi terhadap keputusan mutasi, bukan didasari oleh selesa subjektif. Menurut SE ini, ada 5 pertimbangan mutasi sebelum 2 (dua) tahun, yakni : (a) kinerja pegawai (hasil kerja dan perilaku kerja pegawai) dan/atau kinerja unit kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) strategi akselerasi/percepatan pencapaian kinerja organisasi; (c) kemampuan Pejabat Pimpinan Tinggi dalam melaksanakan tugas jabatan; (d) Rekomendasi tim pemeriksa pelanggaran disiplin yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) terdapat unsur benturan/konflik kepentingan (conflict of interrest) dalam Jabatan Pimpinan Tinggi pada Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, SE tersebut hanya menjelaskan secara eksplisit tentang makna poin (a), (c), dan (d), yang kesemuannya tidak berkaitan dengan basis penilaian kinerja sebagai dasar mutasi. Sementara poin (c) yang berkaitan dengan strategi akselerasi pencapaian kinerja organisasi, tidak dijelaskan sehingga menimbulan ketidakjelasan makna, sehingga membuat poin tersebut menjadi multi-tafsir sehingga berpotensi “abusive”.

“Merit System” dan Penyalahgunaan Wewenang

Secara etimologi, merit berasal dari kata “meritrokasi”, yang disadur dari bahasa Latin, yakni mereō dan krasi yang berarti sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Sistem merit pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Qin (221-206 SM) dan Dinasti Han (206 SM-220 M).

Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan. Dari China, konsep sistem merit kemudian menyebar dipergunakan di British India di abad ke-17 dan kemudian ke daratan Eropa dan Amerika.

Sistem merit menurut konsepsi disiplin ilmu merupakan suatu sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pertimbangan dasar kompetensi bagi calon yang akan diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan dipensiun sesuai UU berlaku.

Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian dan profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian dan profesionalistik calon menjadi pertimbangan utama. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: