Keterangan Lengkap Saksi Ahli: Kasus Mutasi 'AFF Sembiring vs Akmal Malik’

Keterangan Lengkap Saksi Ahli: Kasus Mutasi 'AFF Sembiring vs Akmal Malik’

DR Herdiansyah Hamzah (tanpa toga), memberikan keterangan sebagai ahli pada kasus sengketa mutasi Pejabat Pemprov Kaltim.-(Foto/Dok. FH UGM)-

Kedua, prinsip profesionalitas, yakni penyelenggaraan Manajemen ASN mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan kode perilaku ASN serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketiga, prinsip akuntabilitas, yakni setiap hasil kerja dan perilaku keda Pegawai ASN harus dapat dipertanggungiawabkan kepada publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keempat, asas keterbukaan, yakni penyelenggaraan Manajemen ASN bersifat terbuka untuk publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kelima, prinsip keadilan dan keseteraan, yakni pengaturan penyelenggaraan Manajemen ASN mencerminkan rasa keadilan dan kesempatan yang sama dalam fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN.

Artinya, setiap keputusan pejabat yang berwenang, harus didasarkan pada kesempatan yang sama. Dan salah satu basis penilaiannya adalah penempatan berbasis kinerja, bukan berdasarkan alasan subjektif yang sekedar berlandaskan like and dislike.

Memahami Tafsir “Waktu Mutasi”

Apakah ada aturan mengenai waktu minimal yang dibutuhkan untuk melakukan mutasi? Tentu minimal waktu tidak dilihat semata-mata secara normatif. Tetapi harus dipandang sebagai masa waktu yang untuk melakukan penilaian kinerja terhadap pegawai.

Dalam ketentuan Pasal 190 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa, “Mutasi dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”. 

Hal ini dipertegas dalam hal mutasi JPT, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 132 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyebutkan bahwa proses mutasi JPT dapat dilakukan dengan syarat, “telah menduduki Jabatan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”.

Hal yang sama juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi, yang mengatakan bahwa, “Mutasi dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”. Dan ketentuan waktu minimal untuk melakukan mutasi ini, memiliki daya ikat sebab merupakan pengaturan yang bersifat “delegatif”, dalam arti diperintahkan peraturan yang lebih tinggi untuk diatur lebih lanjut sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pertanyaannya, mengapa mutasi dilakukan minimimal setelah 2 tahun? Apa ratio legis dalam norma tersebut? Untuk memahami makna dari frase “paling singkat 2 tahun” ini, maka perlu penafsiran hukum agar diperoleh makna yang sesungguhnya (original intent) dalam norma tersebut.

Penafsiran hukum memerlukan metode yang tepat. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna sesungguhnya dari suatu undang-undang. 

Menurut Fitzgerald, secara garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu interpretasi harfiah dan interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari litera legis.

Sedangkan interpretasi fungsional bisa disebut sebagai interpretasi bebas yang tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis), melainkan mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.

Sudikno Mertokusumo mengidentifikasikan setidaknya 8 (delapan) metode penafsiran yang lazim digunakan, yakni: (1) Interpretasi gramatikal; (2) Interpretasi sistematis atau logis; (3) Interpretasi historis; (4) Interpretasi teleologis atau sosiologis; (5) Interpretasi komparatif; (6) Interpretasi antisipatif atau futuristis; (7) Interpretasi Restriktif; dan (8) Interpretasi Ekstensif.

Di samping metode penafsiran hukum itu, dalam kepustakaan hukum konstitusi dikenal juga metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation method). Philip Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), yaitu : (1) Historial argument atau penafsiran historis; (2) Textual argument atau penafsiran tekstual; (3) Doctrinal argument atau penafsiran doktrinal; (4) Prudential argument atau penafsiran prudensial; (5) Structural argument atau penafsiran struktural; dan (6) Ethical argumet atau penafsiran etikal.

Lantas metode penafsiran mana yang harus digunakan untuk memahahami frase “paling singkat 2 tahun” itu? Pertama, Interpretasi gramatikal. Intrepresi ini dilakukan berdasarkan tata bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata dan kalimat yang tersusun di dalam bunyi dan isi peraturan perundang-undangan. Secara gramatikal frase “paling singkat 2 tahun” dapat dimaknai jika proses mutasi itu dapat dilakukan hanya dan hanya jika masa waktu 2 tahun itu tepenuhi terlebih dahulu.

Sebaliknya, jika mutasi dilakukan sebelum mencapai waktu minimal 2 tahun, maka hal tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Kedua, Interpretasi sistematis atau logis. Dalam konstruksi model penafsiran ini, kita bertumpu pada nalar dan logika.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: