Meski Gemar Membaca, Literasi Digital Masyarakat Indonesia Ternyata Masih Rendah, Kok Bisa?

Meski Gemar Membaca, Literasi Digital Masyarakat Indonesia Ternyata Masih Rendah, Kok Bisa?

Pembina Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Nasional Tjahjo Suprajogo saat memaparkan materi. -tangkapan layar-

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM – Tingkat literasi digital masyarakat Indonesia diklaim masih rendah. Hal itu ditengarai karena masih banyaknya yang menyebar informasi tanpa menyaring terlebih dulu.  

Pembina Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Tjahjo Suprajogo menyebut demikian. Bentuk rendahnya tingkat literasi digital itu katanya beragam. Contohnya bisa terlihat melalui fenomena masyarakat yang banyak terjebak pinjaman online (pinjol), hingga judi online (judol). 

Literasi digital kita masih rendah. Persoalan pinjol hingga judol, itu bahkan sudah sampai tingkat pejabat,” ucap Suprajogo melalui webinar yang diadakan Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) belum lama ini. 

BACA JUGA:Pj Gubernur Kaltim Sebut Tiga Daerah ini Paling Rawan di Pilkada 2024

Tingkat literasi digital sendiri berkaitan erat dengan kesadaran memfilter pengetahuan atau informasi yang diterima. Menurutnya, informasi tidak semuanya berisi pengetahuan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Suprajogo menyebut fenomena ini sebagai kematian fakta. Atau the death of fact. Situasi ini semakin diperparah dengan begitu gencarnya informasi tersebar di berbagai platform media sosial. Tik tok misalnya. Ia menyayangkan masih banyak yang menerima utuh informasi dari tik tok. 

“Bisa dilihat begitu gampangnya orang-orang menerima informasi palsu. Contohnya tik tok, begitu gampangnya menyebar luaskan informasi padahal belum tentu informasi itu baik.”

Karena itu, membaca dan berdiskusi adalah prasyarat utama membendung informasi buruk tersebut. Tapi apakah hal ini juga menjadi cerminana kalau masyarakat Indonesia tidak suka membaca? Bagi pria yang mantan ketua GPMB Nasional periode 2019-2023 ini, jawabnya tidak juga. Masyarakat Indonesia justru cenderung gemar membaca.

BACA JUGA:Donald Trump Ditembak saat Kampanye, Saksi: Saya Membantu Mengangkat Korban Tewas

Dikutip dari data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, indeks kegemaran membaca masyarakat Indonesia pada 2020 lalu berada pada nilai 55,74 atau sedang. Penilaian itu berdasarkan sejumlah indicator. Seperti frekuensi membaca sebanyak empat kali per pekan, durasi membaca sebanyak 1 jam 36 menit per hari dan jumlah buku yang dibaca sebanyak dua buku per tri wulan. 

Untuk di Kalimantan, Kaltim termasuk memiliki nilai indeks kegemaran membaca tertinggi dengan nilai 62,08. Kemudian Kalimantan Barat 55,24, Kalimantan Tengah 56,04, Kalimantan Selatan 55,85 dan Kalimantan Utara 47,71. Tapi persoalannya bukan disitu. Melainkan pada akses untuk mendapatkan bahan bacaan. Karenanya wajar sempat ada yang menolak penilaian rating dari UNESCO. Dimana lembaga dari PBB itu mengurutkan negara yang gemar membaca, hanya dari kecenderungan membaca bacaan fisik. 

“Pelajar dan mahasiswa dari Australia sempat protes dengan temuan UNESCO itu,” seloroh Prajogo. 

Dosen Kebijakan Publik IPDN Kemendagri ini beberkan alasannya. Suatu hari, pelajar dan mahasiswa dari Australia itu pernah lakukan penelitan literasi di beberapa daerah di Indonesia, beberapa tahun lalu. Salah satunya di Danau Toba. Temuannya adalah anak-anak yang bersekolah sangat ingin membaca buku. “Mereka ingin memabca buku sendiri, cuma akses untuk mendapatkan buku itu yang sulit.”

BACA JUGA:Tantangan Para Jurnalis Hadapi Dinamika Pilkada: Bom Informasi Tanpa Saring Fakta

“Kalau minat baca masyarakat kita ini sudah tumbuh.  Hanya kategorinya, kalau membaca buku yang fisik, itu yang jadi hambatan atau keterbatasan untuk mendapatkan buku.” 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: