Ridwan Suwidi, Ungu dan Pembangunan Paser
Oleh : Dr Abdul Rais SH. MH Kabupaten Paser berkabung. Minggu 25 September 2022 mantan Bupati Paser Ridwan Suwidi tutup usia. Di usia 91 tahun. Jenazah Bupati Paser periode 2005-2010 dan 2010-2015 ini dikebumikan di pemakaman keluarga. Di jalan DI Panjaiatan, Desa Tapis. Kecamatan Tanah Grogot. Saya mengenal dekat Ridwan Suwidi. Diantaranya saat ia menjabat sebagai Bupati Paser. Dua periode. Saat itu saya bertindak sebagai konsultan hukum dan kuasa hukum. Bukan hanya sebagai Bupati. Tapi juga di jabatan politis yang lain. Perkara sengketa pemilukada. Sengketa PTUN, Pengadilan Umum dan MK. Ia memang kelahiran sana. Di Tanah Grogot. Cita-citanya membangun Kabupaten Paser sangat menggebu. Juga mensejahterkan masyarakatnya. Itu terlihat di visi nya: Menuju Masyarakat yang Agamis, Sejahtera dan mempunyai Budaya. Telaga ungu atau Gentung Temiang adalah buah karyanya. Dan menjadi salah satu ikon Kabupaten Paser. Ungu memang warna kesukaannya. Saat dipimpinnya, Kabupaten Paser sangat identik dengan ungu. Semua bangunan pemerintahan berwarna ungu. Ia pernah menghadapi defisit anggaran. Namun inovasi membangun Paser tak pernah surut. Jalan-jalan di desa dibukanya. Agar masyarakat desa tidak terisolir. Saat itu memang banyak desa di Kabupaten Paser yang sulit diakses. Ia sempatkan juga datang ke desa-desa. Untuk bersilaturahmi dengan masyarakat. Bertanya apa yang masih kurang dan perlu dibenahi. Bagi saya Ridwan Suwidi bisa disebut sebagai bapak pembangunan Kabupaten Paser. Banyak pembangunan infrastruktur yang saya lihat di eranya. Tepian Siring Kandilo hingga jembatan Kandilo salah duanya. Juga area perkantoran. Meski menjadi orang nomor satu di Paser, bagi saya ia tetap sederhana. Tidak ada kemewahan dalam kehidupannya. Dan tetap seorang yang dermawan. Pernah suatu ketika saya diminta bertemu dengannya. Di sebuah desa. Saat itu waktu menunjukkan jam 10 malam. Ketika sampai, saya lihat ia sedang asyik berbincang dengan masyarakat desa di situ. Di salah satu rumah warga desa. Warga desa yang datang bukan main banyaknya. Ada pemuka-pemuka adat. Tokoh kampung, tokoh masyarakat dan warga desa. Ia tanya masukan dari masyarakat. Ia tanya keinginan masyarakat desa itu. Dengan santai. Sangat rileks. Dengan sesekali diselingi guyonan. Saya pun bertanya dalam hati: bagaimana cara megumpulkan warga desa sebanyak itu. Kebiasaan datang dan berkunjung ke desa-desa itu memang sudah sejak lama ia lakukan. Sejak ia menjadi anggota DPRD Provinsi Kaltim. Sebagai seorang politisi, ia sering berbeda pendapat dengan kawan atau lawan politik. Namun ia tidak menyimpan dendam. Menurutnya itulah demokrasi. Semua boleh berpendapat. Tidak boleh ada dendam. Ia juga sering diperkarakan hukum. Namun ia santai saja dan berpesan: "Jalankan saja sesuai hukum yang berlaku,". Juga sering ada pemberitaan miring tentangnya. Ia tidak marah. Tidak ada umpatan. Tidak ada kebencian apalagi dendam. Di sini terlihat kematangannya sebagai seorang politisi. Tidak mudah terpancing dengan isu-isu politik. 37 tahun menjadi anggota DPRD dan 10 tahun menjadi Bupati benar-benar membuatnya malang melintang di dunia politik. Dan saya benar-benar banyak belajar darinya. Urusan dunia dan akherat.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: