Dituding Makar, hingga Perancangan Pembunuhan
Sultan Hamid II (kiri) dianggap berjasa karena merancang dan merumuskan lambang negara.(Int) Menjelang Hari Pahlawan 10 November, setiap tahun pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada seseorang sebagai tanda jasa dan juga kehormatan. PADA tahun ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh bangsa yang dianggap berjasa bagi bangsa dan negara di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11) lalu. Mereka antara lain alm Ruhana Kuddus, alm Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, alm Prof M. Sardjito, alm Abdul Kahar Muzakir, alm Alexander Andries (AA) Maramis, dan alm KH Masjkur. Sayang, dari deretan nama tersebut belum masuk Sultan Hamid II atau Syarif Abdul Hamid Alkadrie sebagai Perancang Lambang Negara RI, Garuda Pancasila. Padahal sejak 2016, nama Sultan Hamid II sudah diusulkan kepada pemerintah sebagai calon Pahlawan Nasional. Namun belum memenuhi syarat dengan berbagai alasan, salah satunya tudingan makar atau pemberontakan bersama perwira Pasukan Khusus Belanda Westerling terhadap negara, lalu perancangan pembunuhan terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX. A nshari Dimyati, ketua umum Yayasan Sultan Hamid II mengatakan, kontribusi Syarif Abdul Hamid Alkadrie untuk merancang dan merumuskan lambang negara Indonesia sangat besar. Sebab, Sultan Hamid II harus berusaha keras menyempurnakan lambang negara hingga dipergunakan sampai saat ini. Kerja kerasnya itu pun telah diakui Sang Prokamator, Ir Soekarno atau Bung Karno. “Kontribusi beliau (Sultan Hamid II, Red) pada bangsa ini sebesar 100 persen. Walaupun dibesarkan oleh WNA (Warga Negara Asing atau Belanda, Red), beliau tetap mengabdi sama negara. Hingga akhir hayatnya kontribusi ini terus ditujukan,” katanya saat dikonfirmasi INDOPOS, Minggu (10/11). Anshari mengaku sejumlah upaya telah dilakukan pihaknya agar Pemerintah RI memasukan nama Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional seperti melengkapi dokumen yang diperlukan, bahkan rekomendasi dari Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) dan Bupati Pontianak. “Dokumen pendukung serta hasil penelitian sudah kami lampiran ke pemerintah. Kemensos (Kementerian Sosial) dan Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pun telah menyatakan semua lengkap. Waktu itu kami merasa senang jika Sultan Hamid II akan jadi pahlawan nasional. Tetapi di kemudian hari pemerintah mengirimkan surat untuk meminta kelengkapan surat,” paparnya. Disebutkan Anshari, ada tiga poin substansial yang diberikan pemerintah yang diduga menghambat penetapan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. Ini antara lain diduga melakukan gerakan makar dengan memimpin pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) bersama Kapten Pasukan Khusus Belanda Westerling. Selanjutnya, pemerintah meragukan perancangan lambang negara karena Sultan Hamid II bekerja sama dengan M. Yamin. Dan terakhir, disinyalir melakukan perancangan pembunuhan terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gusti Raden Mas Dorodjatun. “Ini yang menghambat kami untuk memasukkan nama Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. Tiga poin substansial ini sudah kami bantah dari penelitian akademisi UI (Universitas Indonesia). Tapi itu semua seperti tak dihiraukan sama pemerintah. Makanya, sampai sekarang nama beliau belum masuk ke dalam daftar pahlawan nasional,” ucapnya. Kendati telah beberapa kali mendapatkan penolakan dari pemerintah, Anshari bersama timnya masih berkeinginan mengajukan dokumen Sultan Hamid II agar masuk menjadi pahlawan nasional. Dirinya pun berharap pemerintah menghapus tiga poin substansial tersebut. Ini mengingat jasa Sultan Hamid II yang merancang lambang negara itu sangat berperan memajukan negeri ini. Nur Iskandar, salah satu penulis buku biografi ‘Sultan Hamid II-Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila’ menuturkan, penghambat Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional dinilai bermuatan politis. Soalnya, Sultan Hamid II sempat bergabung dengan Partai Masyumi. Dan juga karena adanya penentangan dari kelompok lain lantaran lambang negara yang dihasilkan tidak murni dari Sultan Hamid II. “Ini lebih kental muatan politis karena adanya perbedaan politik. Jadi karena itu pula, makanya sampai sekarang belum masuk jadi pahlawan nasional. Ini sudah terlihat sejak kami ingin memasukkan nama beliau (Sultan Hamid II, Red) jadi pahlawan nasional,” tuturnya. Nur Iskandar bersama dua penulis buku Sultan Hamid II cukup sulit mengumpulkan dokumen dan narasumber yang mengetahui riwayat Sang Perancang Lambang Negara. Sehingga serangkaian penelitian pun dilakukan untuk mendapatkan bukti otentik tersebut. Dirinya pun meminta pemerintah menghargai jerih payah Sultan Hamid II menyelesaikan tugas merancang lambang negara. Dia menambahkan, pengurus yayasan sudah membuat surat terbuka untuk Presiden Jokowi mengenai usulan penetapan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. Sultan Hamid II berperan dalam perancangan lambang negara, termasuk lambang bintang bersudut lima untuk sila pertama dalam Pancasila sebagai nur, cahaya ilahi. “Nilai sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan simbol rantai semoga menginspirasi kita bahwa kita seiya sekata dalam kebenaran sejarah,” ujar Nur Iskandar. Ia menjelaskan, simbol rantai kotak dan bulat untuk sila kedua melambangkan pertautan umat manusia yang terdiri atas pria dan wanita, seiya sekata saling melengkapi, sehingga sempurna dalam mengangkat harkat dan martabat umat. Sultan Hamid II menjadikan pohon beringin sebagai simbol persatuan Indonesia sebagaimana bunyi sila ketiga, menjadikan banteng dari Sumatera sebagai lambang sila keempat, serta padi dan kapas sebagai lambang sila kelima. Nur Iskandar mengaku kecewa Sultan Hamid II dengan berbagai jasanya tidak dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pada tahun ini. “Saya sebagai salah satu dari anak negeri ini sedih dan pedih, kenapa sosok yang menghembuskan napas terakhirnya dalam keadaan sujud, pria yang menemani Bung Karno saat menghembuskan napas terakhirnya, laki-laki jenderal yang ikhlas menerima putusan 10 tahun penjara tanpa dia melakukan tindak pidana,” katanya. Namun Nur Iskandar masih berharap tahun depan pemerintah akan mengakui jasa-jasa Sultan Hamid II dan memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya. “Kami masih sabar menunggu untuk gelar pahlawan nasional itu pada tahun depan, 2020. Berampah-ampah dokumen itu sudah kami tabur di website dan internet. Tidaklah sulit melacak seluruh rekam jejak pengajuan pahlawan nasional dari Kalbar,” tandasnya. Di tempat terpisah, Syarief Abdullah Alkadrie, anggota DPR RI Dapil (Daerah Pemilihan) Kalbar, yang juga cicit Sultan Hamid II mengatakan, sejarah tidak bisa dihapus. Sultan Hamid II sangat berkontribusi besar terhadap perjalanan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Proses sejarah apapun dia (Sultan Hamid II, Red) sangat berjasa dengan menciptakan lambang Garuda Pancasila,” ujanya. Selain menciptakan lambang Garuda Pancasila, lanjut Abdullah, Sultan Hamid II juga berjasa besar dengan menjadi perwakilan negara bagian bergabung dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) kala itu. “Kalau saat itu ia (Sultan Hamid II, Red) menyatakan keberatan atas kemerdekaan Indonesia, mungkin saja Indonesia belum merdeka,” jelasnya. Dengan historis itu, kata Abdullah, tidak dipungkiri lagi jasa Sultan Hamid II terhadap republik ini. Secara hukum, semua tuduhan yang ditujukan kepada Sultan Hamid II tidak dapat dibuktikan. “Itu hanya persoalan politik saja, saat itu masalah Bung Karno dan Sultan Hamid II,” ungkapnya. Pemerintah semestinya, masih ujar Abdullah, harus melihat fakta yang ada. Ini karena di pengadilan sendiri tidak bisa membuktikan keterlibatan Sultan Hamid II pada peristiwa pemberontakan yang dilakukan Westerling. “Dalam keputusan, pengadilan tidak bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II menggerakkan untuk melakukan makar kepada negara saat itu,” jelasnya. Abdullah mengatakan, kasus serupa sebenarnya banyak melibatkan pejuang saat itu. Seperti kasus Bung Karno dan pejuang lainnya yang secara politis juga bertentangan. Selain itu, ada tokoh Buya Hamka yang waktu itu pernah ditahan oleh pemerintah kala itu. “Toh, Buya Hamka juga dianugerahi gelar pahlawan nasional. Apapun juga beliau seorang pejuang, sama seperti pejuang lainnya,” ucap dia. Abdullah mengaku keberatan dengan keputusan Dewan Gelar Pahlawan terhadap Sultan Hamid II. Dengan beberapa pertimbangan, gelar pahlawan nasional untuk Sultan Hamid II harus ditunda. “Secara bukti fakta, kami sudah berikan. Itu juga melakukan seminar, bahkan sudah masuk dalam kurikulum pendidikan. Tidak seharusnya proses politik meninggalkan proses sejarah,” ujarnya. Abdullah berharap pemerintah harus lebih arif dan bijaksana melihat masalah ini. Apalagi sejarah sudah mencatat peran Sultan Hamid II pada proses kemerdekaan Indonesia dengan melakukan pertemuan-pertemuan internasional. (cok/nas/indopos/app)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: