Pentingnya Mewujudkan Peraturan Pemerintah yang Khusus Bagi Pelaut Indonesia untuk Mendukung Peningkatan Devis
Oleh: Dwiyono Soeyono – Praktisi Maritim Niaga Pelaut perlu dukungan dari pemerintah untuk jaminan kepastian hukum dalam ketenangan bekerja. Agar tetap dapat secara konsisten menghasilkan devisa negara. Jaminan kepastian hukum itu sampai saat ini masih belum nyata. Karena masih terjadinya tarik ulur kewenangan payung hukum antar lintas Lembaga kementerian antara dibawah Kementerian Perhubungan cq Direktorat Perhubungan Laut atau Kemeterian Ketenagakerjaan. Mengutip artikel yang telah tayang dengan judul "Kemenko Marves Klaim Pelaut Mampu Tambah Devisa Negara hingga Rp 150 Triliun: Deputi bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pekerja migran Indonesia (PMI). Salah satunya awak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja sebagai pelaut. Menurut dia, ABK ini mampu menambah devisa negara berkisar Rp 151,2 triliun dari pendapatan yang didapatkan. ( https://money.kompas.com/read/2021/02/17/190352226/kemenko-marves-klaim-pelaut-mampu-tambah-devisa-negara-hingga-rp-150-triliun ) Ada konvensi produk badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa yang dikenal dengan The International Convention on Migrant Workers and its Committee. Dimana menyatakan dengan tegas Pelaut diluar dari pemberlakuan konvensi yang dibuat. Dengan kata lain bahwa Pelaut dinyatakan sebagai BUKAN TENAGA MIGRAN. Hal pemahaman demikian memang tidak bisa dibiaskan. Mengingat adanya konvensi ILO C97 pasal 11 yang jelas-jelas menyatakan PELAUT TIDAK MASUK DALAM KATEGORI TENAGA MIGRAN. Ini sangat disadari oleh ILO dan dipertimbangkan matang-matang. Karena memang karakter penanganan pekerja Pelaut sebagai pekerja di laut (lex spesialis) dengan aruran-aturan yang mengikatnya secara internasional tidak bisa disamakan dengan pekerja umum dengan kegiatan bekerja di darat (lex generale). Indonesia meratifikasi konvensi tersebut (The International Convention on Migrant Workers and its Committee dalam bentuk UURI no.6 tahun 2012). Artinya Indonesia juga menyatakan setuju atas keseluruhan isi dari konvensi untuk taat sesuai makna dari pemahaman arti KONVENSI. Menyimak pada undang-undang negara no.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pemahaman yang tidak tepat tentang kategori pelaut sebagai tenaga pekerja migran justru muncul dan dilegitimasikan dalam UU-RI. Mengapa kepastian hukum itu sedemikian penting bagi Pelaut aktif yang masih berlayar di luar negeri khususnya, yang notabene Pelaut adalah tenaga kerja lex spesialis berstandar sertifikasi Internasional? Beberapa hal yang harus dipahami terkait standar kepelautan internasional: 1. Tidak mengenal Undang-undang ketenagakerjaan RI, Pelaut sudah memiliki mekanisme dan aturan-aturan khusus. 2. Tidak mengenal UU RI lainnya terkait kepelautan yang diberlakukan bagi pelaut sebatas wilayah Indonesia, dimana yang berlaku secara internasional adalah berdasarkan konvensi-konvensi lintas negara. 3. Telah memiliki standar perlindungan pelaut Internasional dalam perjanjian kerja laut standar kepelautan. 4. Telah memilik mekanisme dan standar perjanjian kerja pelaut secara Internasional dan diakui. 5. Telah memiliki perangkat peraturan perlindungan Pelaut sesuai standar internasional, dimana jaminan kompensasinya jauh lebih tinggi bagi pelaut dibanding yang tertuang dalam peraturan Indonesia. Dari beberapa hal yang disinggung diatas dengan pertimbangan aspek bisnis perkapalan internasional, bila dipaksakan memahami dan mengikuti standar Indonesia yang dianggap menyulitkan proses perekrutan, maka pangsa peluang profesi pelaut di dunia internasional bisa terancam. Karena secara bisnis di luar negeri akan melirik pada negara-negara lain dengan SDM pelaut-pelautnya sudah siap serap dengan standar yang sudah berlaku umum secara internasioanal tanpa menyulitkan proses perekrutan dan lain-lain termasuk perangkat-perangkat peraturan perlindungannya. Dapat dibayangkan kerugian pemasukan devisa negara dari pelaut bila hal demikian terjadi? Meningkatnya potensi pendapatan devisa negara dari pelaut, sangat bergantung kepada kepastian perangkat hukum yang memayungi pelaut. Mengapa negara harus berani menyatakan pelaut adalah bukan tenaga migran dan termasuk lex spesialis? Karena bila status itu melekat, secara otomatis semua perangkat aturan dan hukum yang berlaku untuk memayunngi akan serta merta melekat sesuai status yang dinyatakan. Dan dunia industry perkapalan internasional juga akan tentunya menaruh respek akan kepatuhan yang dilakukan terhadap konvensi yang sudah disepakati. Saran-saran bagi Lembaga Legislatif dan Eksekutif yang memiliki kewenangan terkait maritim niaga untuk mendukung peran Pelaut agar dapat meningkatkan devisa negara: 1. Direktur Jenderal Perhubungan Laut laiknya dari profesi dengan latar belakang pendidikan tinggi lulusan DIKLAT PERLA yang tidak segan mendengar masukan-masukan praktisi, agar benar benar memahami segala aspek kepelautan. 2. Harus ada ketegasan kehadiran negara, Pelaut dengan segala aturan-aturan hubungan kerja yang berlaku dibawah kewenangan KEMENAKER atau dibawah KEMENHUB cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. 3. Negara harus berani menyatakan Pelaut adalah bukan tenaga migran, dimana artinya sebagai konsekuensi hukum bahwa UU-PPMI harus direvisi sesuai konvensi ILO yang diratifikasi. 4. Harus adanya standar mekanisme perekrutan yang disepakati lintas beberapa Lembaga Kementerian negara (Kemenhub, Kemenaker, Kemenkumham, KemenkoMarinvest, Kemenlu) 5. Ijin usaha perekrutan Pelaut harus ditetapkan negara, berada dibawah Lembaga Kementerian yang mana. 6. Memperluas kerjasama CoR (Certificate of Recognition) sesuai STCW dengan negara-negara asing yang yang sifatnya saling mengakui terkait pendidikan pelaut, sehingga ijazah Indonesia diakui oleh semua negara yang mengakui konvesi IMO-STCW. 7. Peran serikat pekerja pelaut yang memfasilitasi KKB sesuai MLC 2006 harus lebih nyata sumbangsihnya bagi Pelaut. 8. Negara hadir untuk membuat daftar serikat pekerja pelaut yang mana saja yang sudah memenuhi persyaratan-persyaratan membuat KKB sesuai standar mutu yang baik, dimana pihak industry perkapalan diluar sebagai user mendapatkan referensi yang tepat. 9. Harus dipilah dan dibedakan proses dan mekanisme perekrutan pelaut ke luar negeri dengan pelaut yang bekerja dalam negeri. 10. Harus dipilah dan dibedakan proses dan mekanisme perekrutan pelaut kapal niaga dengan pelaut perikanan ke luar negeri. 11. Segera dibuatkan Undang-undang perlindungan profesi tenaga ahli bidang pelayaran niaga, bersinergi dengan organisasi profesi terkait (bukan serikat pekerja). 12. Kampanye sosialisasi kode etik profesi tenaga ahli bidang pelayaran niaga diintensifkan bersama-sama dengan Organisasi profesinya (bukan serikat pekerja). 13. Perhatian dan fungsi kontrol dari DPR-RI Komisi-V juga berperan aktif dan interaktif atas masukan masyarakat terkait kinerja pemerintah sector maritim. 14. Khusus untuk pelaut-pelaut yang bekerja sebatas wilayah NKRI, agar dikawal dengan harmonis ketenangan dan kenyamanan bekerjanya oleh aparat-aparat terkait mengingat pelaut sedang berkontribusi untuk mendukung naiknya perekonomian negara dari sektor maritime niaga. Semoga bukan harapan hampa agar peran Pelaut yang berkontribusi signifikan bagi pemasukan devisa negara dapat terus ditingkatkan dengan budaya komunikasi interaksi diantara seluruh pemangku kepentingan pengguna jasa profesi pelaut.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: