Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Sistem perpajakan di  Indonesia menganut sistem “self assessment”. Di mana, wajib pajak  menghitung sendiri, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Dan untuk itu,  untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Pemeriksaan perpajakan menurut pasal 1 ayat 25 Undang-Undang No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Adapun tujuan dilakukannya pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Kedua, untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan mengenai tujuan pertama pemeriksaan pajak dilakukan dalam hal:

  1. Wajib pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
  2. Menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
  3. Menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
  4. Tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran.
  5. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
  6. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan WP yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penjelasan tujuan kedua adalah, pemeriksaan pajak dilakukan dalam hal:
  1. Pemberian NPWP secara jabatan.
  2. Penghapusan NPWP.
  3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan PKP.
  4. Wajib pajak mengajukan keberatan.
  5. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
  6. Pencocokan data dan atau alat keterangan.
  7. Penentuan WPberlokasi di daerah terpencil.
  8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN.
  9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
  10. Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan.
  11. Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Melihat lebih dalam mengapa wajib pajak dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan adalah sebagai berikut : Menurut Pasal 1 angka 26 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pada angka 27 dipertegas dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan terindikasi karena adanya bukti permulaan, persyaratan dinyatakannya bukti permulaan adalah adanya unsur pidana dan dua alat bukti yang telah sesuai aturan perpajakan. Saat bukti permulaan dirasa telah memenuhi syarat dari perpajakan selanjutnya akan dibuat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pada tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan. Pada Pasal 5 Ayat (1) menjelaskan bahwa pemeriksa bukti permulaan melaksanakan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan sampai dengan tanggal laporan pemeriksaan bukti permulaan. Pada pasal 5 Ayat (4) menyatakan bahwa kepala unit pemeriksaan bukti permulaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak berakhinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Hasil pemeriksaan bukti permulaan ada dua kemungkinan yakni pertama terdapat cukup bukti permulaaan dan dugaaan bahwa wajib pajak sedang dan telah melakukan tindak pidana maka dapat diteruskan penyidikan. Unsur-unsur pidana harus memenuhi isi pasal 38 dan 39 KUP. Kedua, tidak terdapat cukup bukti permulaan dan dugaan yang kuat bahwa wajib pajak sedang/telah melakukan pidana perpajakan/salah satu unsur tindak pidana perpajakan pasal 38 dan 39 KUP tidak terpenuhi sehingga tidak dilanjutkan penyidikan, konsekuensinya berupa tindak lanjut penetapan pajak yang mungkin masih terutang dan sanksi administrasinya. Jenis pemeriksaan bukti permulaan (bukper) sendiri terdiri dari pemeriksaan bukper secara terbuka dan tertutup. Pemeriksaan bukper secara terbuka dilakukan dalam hal pemeriksaan bukper terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP atau merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Pemeriksaan bukper secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis perihal pemeriksaan bukper kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan pemeriksaan bukper. Sementara itu, pemeriksaan bukper secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan tentang adanya pemeriksaan bukper kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan pemeriksaan bukper. Pemeriksaan bukper secara terbuka dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan bukper sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Adapun pemeriksaan bukper secara tertutup dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat perintah pemeriksaan bukper diterima oleh pemeriksa bukper sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Prosedur dan standar pelaksaan pemeriksaan bukper, serta kewajiban, hak dan kewenangan dalam pemeriksaan bukper saat ini diatur dalam PMK 239/2014. Wajib pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan secara terbuka dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu:
  • Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  • Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Sesuai Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. (1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. (2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. (4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan: pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar; jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. (5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. (6) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Terhadap wajib pajak yang melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan tetap dilanjutkan sesuai dengan standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai dengan penyusunan konsep Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan wajib pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyusunan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan tanpa usul penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan kepada wajib pajak disampaikan pemberitahuan secara tertulis. (Andi Murni Ratna, Konsultan Perpajakan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: