Tiongkok-Uni Eropa Krisis Energi, Siapa Diuntungkan?
DUNIA dikejutkan dengan Tiongkok yang mengalami krisis energi. Bagaimana negara semaju Tiongkok bisa mengalami krisis energi?
Bahkan negara tersebut sempat memberlakukan pembatasan ketat pada akhir September 2021 lalu, pada pemakaian konsumsi listrik yang memberikan dampak bagi dunia industri di negeri Tirai Bambu tersebut. Hasil survei September 2021 lalu yang dikutip Guardian menunjukkan aktivitas pabrik di Tiongkok mengalami kontraksi besar pada bulan September 2021. Dan ini kali pertama terjadi pada Tiongkok semenjak pandemi melanda negara Panda ini pada Februari 2020. Krisis yang melanda Tiongkok ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Di antaranya meningkatnya permintaan listrik yang besar dari sektor industri, ditambah dengan kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mengurangi emisi karbon yang berakibat pemadaman listrik. Sehingga membuat produksi industri di negeri tersebut terhambat. Serta kekurangannya pasokan batu bara salah satu faktornya adalah karena perang dagang antara Tiongkok dan Australia. Tak beda dengan Tiongkok, Inggris dan Uni Eropa juga mengalami krisis serupa. Menurut Euro News, harga gas alam melonjak di Eropa karena permintaan yang meningkat secara global. Lonjakan harga gas alam ini dipengaruhi oleh naiknya ekonomi Eropa secara global pasca pandemi dan juga mulai dibatasinya energi berbahan batu bara secara bertahap. Sehingga mendorong kebutuhan akan gas alam di Eropa menjadi tinggi. Selain itu faktor lain sebagaimana diberitakan CNBC Indonesia, Parlemen Eropa “menuduh” perusahaan Rusia yaitu gazporm melakukan Manipulasi harga gas. Parlemen Eropa menyebut bahwa berkurangnya aliran gas adalah upaya Moskow untuk menekan Eropa agar mau mengaktifkan Pipa Nord Stream 2. Baca juga: Polemik PNBP KKP; Melaut Berbayar, Tidak Ada Tarif 0 Rupiah Pipa gas Nord Stream 2 menjalar dari Rusia ke Jerman dan merupakan proyek antar kedua negara yang telah diselesaikan. Namun aktivasinya ditolak oleh Jerman karena sangsi Amerika Serikat yang merupakan mitra strategis UE kepada Rusia. Namun Presiden Rusia Vladimir Putin pasang badan soal ini dan menuduh Eropa membuat kesalahan dengan mengurangi kesepakatan jangka panjang terkait perdagangan gas alam. Lebih jauh permasalahan mengenai pasokan gas alam juga terjadi, akibat kurangnya pemeliharaan pada ladang Minyak serta gas alam akibat pandemi COVID-19, serta kurangnya investasi. Saat ini Eropa juga memulai mengurangi produksi gas alam di negeri mereka. Data dari Gas Infrastructure Europa gas alam aktif di penyimpanan sekarang mencapai 74 persen di Eropa jumlah ini lebih sedikit dari realisasi pada tahun lalu yang mencapai 94 persen. Di Inggris selain harga tarif listrik yang mulai merangkak naik, krisis energi juga terlihat dari sulitnya mendapatkan BBM di negeri tersebut. Bahkan warga di negara dengan julukan The three Lions tersebut terpaksa berebut dengan industri yang kehabisan sumber gas untuk pembangkit listrik. Masalah lain yang terjadi di negara tersebut rantai pasokan bahan bakar terganggu akibat banyaknya sopir yang mandek mengangkut barang. Ini juga efek dari keputusan Inggris untuk Brexit atau keluar dari Uni Eropa. Sehingga hal ini berakibat banyak sopir yang kebanyakan imigran harus kembali ke negaranya karena urusan imigrasi dan juga lockdown akibat pandemi COVID-19 Krisis Energi Picu Kenaikan Harga Batu Bara Data CNBC Indonesia hingga akhir 2020 lalu harga Batu Bara telah meroket hingga 188,7%. Harga Batu Bara berada pada kisaran US$ 224,9 pada perdagangan ICE NEW CASTLE pada Kamis (07/10/2021). Meskipun harga tersebut termasuk anjlok dari hari sebelumnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari faktor panasnya hubungan dagang antara Tiongkok dan Australia. Perlu diketahui Australia adalah negara pengekspor batu bara terbesar kedua di dunia. Sedangkan Tiongkok adalah negara pengimpor batu bara terbesar di dunia. Yang kini menjadi tantangan jangka pendek bagi negara yang dipimpin Xi Jinping ini adalah kebijakan pemerintah Australia membatasi pengiriman batu bara ke negara tersebut, di tengah otoritas Tiongkok yang sedang meningkatkan standar keselamatan kerja yang membuat produksi batu bara Tiongkok berjalan lambat. Hal ini menyusul adanya serangkaian kecelakaan kerja yang terjadi. Sebab itu Tiongkok mencari alternatif negara lain penghasil batu bara, salah satunya Indonesia. Tercatat volume ekspor batu bara Indonesia kepada Tiongkok pada periode Januari-Agustus 2021 mengalami kenaikan hingga 19 persen pada periode yang sama tahun lalu, ditulis oleh Antara News. Ekspor ini kemungkinan besar akan terus meningkat seiring akan tibanya musim dingin di belahan Bumi bagian utara. Sementara Uni Eropa juga mulai melirik batu bara Indonesia dikarenakan tingginya harga gas alam. Sehingga ketergantungan kembali dengan komoditas batu bara yang lebih murah dibandingkan Gas alam sangat memungkinkan demi memenuhi kebutuhan energi listrik. Hal ini juga didukung kutipan laporan dari Fengkuang Coal Logistics bahwa produsen listrik Eropa sudah menanyakan pasokan Batu Bara Indonesia untuk pembelian pada kuartal IV tahun ini. Dan yang berminat tersebut salah satunya adalah Italia. Siapa Diuntungkan Dalam Krisis Energi ini? Tiongkok maupun Uni Eropa sejatinya belum bisa sepenuhnya terlepas dari ketergantungan akan energi tidak terbarukan seperti halnya gas alam, batu bara, dan BBM. Bahkan dalam kajian yang dilakukan ELS Analysis, konsultan energi yang berbasis di Swedia pada Reuters mengatakan “Melihat situasi Eropa, gas alam tidak bisa lagi bersaing dengan batu bara. Akibatnya penggunaan batu bara terus meningkat” Dengan melihat kebutuhan Tiongkok yang tinggi akan batu bara, serta Eropa yang mulai melirik kembali batu bara, maka Indonesia sebagai negara pengekspor batu bara terbesar di dunia adalah yang paling diuntungkan. Hal ini diperkuat dengan terdongkraknya nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2021 lalu yaitu hingga mencapai US$ 21,44 Miliar. Jumlah ini menjadikan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Meski Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang paling diuntungkan dalam krisis energi ini, ada kekhawatiran juga yang harus diwaspadai. Karena meroketnya harga batu bara ternyata juga diikuti oleh kenaikan harga BBM. Mengingat Indonesia sampai saat ini masih menjadikan BBM dan LPG sebagai salah satu sumber energi primer bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Mantan Gubernur Indonesia untuk OPEC Widhyawan Prawiraatmaja juga mengatakan bahwa "perlu diingat bahwa kondisi Indonesia sangat rentan terhadap peningkatan harga energi primer, khususnya minyak bumi plus BBM dan LPG, yang ketergantungan pada impornya tinggi, terutama karena sebagian dari harga produk BBM dan LPG 3 kg masih disubsidi," paparnya dikutip oleh Liputan6. Beliau menambahkan perusahaan milik pemerintah dan juga perusahaan swasta sudah seharusnya menjalankan kembali manajemen risiko dalam situasi seperti sekarang ini. Terutama pada perusahaan yang bergerak di bidang komoditas energi dalam negeri, seperti PT Pertamina dan PT PLN. (*/boy) *Penulis adalah pengamat pertambangan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: