Nasib Pelayanan Kesehatan di Balik PMK Nomor 30/2019

Nasib Pelayanan Kesehatan di Balik PMK Nomor 30/2019

Oleh: drg. Rustan Ambo Asse Sp.Pros TERBITNYA Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 30 Tahun 2019 menggantikan PMK Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menimbulkan pro kontra dan menyita perhatian publik terutama bagi insan kesehatan. Lima tahun implementasi PMK nomor 56 sepertinya bukanlah waktu yang cukup untuk dapat secara optimal diterapkan lalu kemudian dievaluasi khususnya di daerah kab/kota. Publik bisa saja kembali mempertanyakan substansi dan tujuanya mengingat dampak yang muncul dari peraturan tersebut menimbulkan semakin banyaknya permasalahan kesehatan dan semakin berjaraknya masyarakat dengan akses pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan adalah bagaimana ketersediaan akses masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan terkait tidak hanya infrastruktur dan alat kesehatan tapi jauh daripada itu bagaimana sebuah rumah sakit dapat menyediakan sumber daya manusia kesehatan terutama akses pelayanan tenaga medis khususnya dokter,dokter gigi,dokter spesialis dan dokter gigi spesialis. Kemunduran Mutu Pelayanan Penetapan klasifikasi Rumah Sakit menurut PMK No.30 Tahun 2019 yang mensyaratkan Rumah Sakit Umum Klas C yang tidak mewajibkan adanya spesialis mata, THT-KL, Kulit Kelamin, Paru, Kedokteran Jiwa, Orthopedi dan Jantung Sementara itu beberapa spesialis lain selain spesialis dasar seperti Bedah Mulut, Prosthodonsi, Ilmu Penyakit Mulut , Orthodonsi dan kedokteran forensik ditetapkan sebagai spesialis yang tidak boleh ada di rumah sakit kelas C kecuali atas rekomendasi Dinas Kesehatan Propinsi dalam kurun waktu tertentu. Yang paling ironis dalam data lampiran PMK tersebut tidak ada satupun dokter gigi spesialis yang wajib ada pada rumah sakit kelas B bahkan Rumah Sakit Kelas A sekalipun. Hal ini tentu tidak sesuai dengan dasar filosofis memberikan pelayanan ke masyarakat berbasis kompetensi medis, sehingga rumah sakit yang semestinya memberikan pelayanan lebih holistik,terintegrasi lintas spesialis dan lebih modern akan sulit tercapai. Sistem Rujukan Vs Akses Pelayanan Indonesia secara geografis merupakan daerah kepulauan,oleh karena itu dalam era JKN mutu pelayanan mestinya penguatan pada aspek akses pelayanan yang cepat dan tepat, pilihan terhadap penguatan sistem rujukan sangat tidak kontekstual dengan kondisi negara Indonesia. Beban kepada Masyarakat peserta BPJS dengan iuaran yang sudah naik itu jangan lagi ditambah dengan biaya transportasi, biaya penginapan,akomodasi rujukan lintas propinsi. Hal-hal teknis sedemikian rumit tersebut sungguh merupakan jerit batin masyarakat yang tidak mampu, ada ratusan juta rakyat Indonesia hidup di daerah terpencil yang mestinya didekatkan dengan fasilitas dan dokter/dokter gigi spesialis bukan justru dijauhkan. Anda bisa bayangkan, betapa rumit jika ada pasien yang mengalami kelainan Temporo Mandibular Disorder (TMD) atau kelainan sendi rahang hingga pasienya tidak bisa buka mulut yang mesti dirawat oleh spesialis prostodonsi, ataukah misalnya seorang pasien yang mengalami kecelakaan fraktur atau patah tulang rahang yang mesti dilakukan operasi dan rehabilitasi oklusi (mengembalikan gigitan normal) oleh seorang dokter gigi spesialis bedah mulut yang notabene kedua spesialis tersebut tidak boleh ada di Rumah Sakit Kelas C. Dampak sosial Efek domino munculnya PMK No.30 tahun 2019 tersebut tidak hanya berhenti pada semakin jauhnya akses mutu pelayanan bagi masyarakat dan semakin mahalnya biaya operasional berobat bagi peserta BPJS karena jarak rumah sakit rujukan yang ditempuh. Akan tetapi dampak negatif yang dapat muncul adalah turunya minat dokter dan dokter gigi khususnya ASN di Kab/kota untuk melanjutkan sekolah spesialis sebagai Tugas Belajar, hal ini disebabkan tentunya karena banyak pertimbangan misalnya kualifikasi spesialis yang mereka minati tidak sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit tempat mereka bertugas, pertimbangan akan jauh dari keluarga karena mesti bergeser ke Rumah sakit Kelas B , itupun jika di rumah sakit yang dituju masih lowong karena tentunya dokter spesialis akan lebih banyak menumpuk di Rumah Sakit kelas B dan Kelas A. Selanjutnya hal yang paling kontradiktif adalah hal ini kontraproduktif dengan pemerintah Kab/kota yang ingin mengembangkan SDM kesehatanya sendiri. Sementara faktanya sebagian besar pemerintah daerah sudah mulai melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dengan menfasilitasi beasiswa sekolah spesialis. Peran BPJS Hal yang paling substansial yang perlu diraih oleh BPJS adalah bagaimana meraih "Trust" atau kepercayaan semua pihak terkait. Titik bergerak pemerintah dalam implementasi visi JKN seyogyanya berlandaskan pada mutu pelayanan dimana secara teknis akan diperhadapkan kepada dua hal yaitu kendali mutu dan kendali biaya. Tentu sebuah tragedi dan BPJS akan semakin kehilangan kepercayaan jika efesiensi lebih dominan daripada mutu pelayanan. PMK Nomor 30 Tahun 2019 apakah sudah benar memiliki semangat itu? Mutu pelayanan tentu sangat terkait dengan ketersediaan SDM yang unggul, dalam konteks rumah sakit semakin banyak dokter spesialis maka mutu pelayanan di rumah sakit tersebut akan semakin baik. Era perawatan menyeluruh (Holistik) dengan pendekatan multispesialis sungguh di negera-negara maju telah lama diterapkan. Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam acara FGD sosialisasi PMK No.30 ini bahkan sudah mengeluarkan poin statement bahwa akan merencanakan membuka UPT Jamkesda untuk menfasilitasi warganya yang tidak tercaver di BPJS. Itu Jakarta bagaimana dengan daerah-daerah lain seperti Kalimantan Timur, Maluku, Sulawesi apakah akan menyusul ? sementara semangat full coverage kepesertaan BPJS syaratnya semakin mengikat setiap warga seperti tidak boleh perpanjang SIM,STNK, Pasport jika tidak bayar iuaran BPJS. Masih "dibutuhkankah" Dokter Gigi Di Indonesia? Ketika kita membandingkan detail penguatan mutu pelayanan medis yang tercantum dalam PMK No.56 Tahun 2014 dan PMK No.30 Tahun 2019 khusunya keberadaan dokter gigi spesialis maka akan nampak penurunan drastis. Dalam PMK No.56 untuk kualifikasi Rumah Sakit Kelas C Pelayanan Medik Spesialis Gigi dan Mulut paling minimal satu pelayanan medis spesialis gigi. Kata paling "minimal" dalam redaksi kalimat tersebut mengisyaratkan terbukanya ruang kebijakan Rumah Sakit dan potensi untuk terpenuhinya pelayanan medik spesialis gigi secara holistic care atau pelayanan menyeluruh. Sementara dalam PMK No. 30 dalam kualifikasi yang sama dibatasi hanya tiga spesialis gigi,itupun keberadaanya boleh ada dan boleh tidak ada. Demikian juga untuk Rumah Sakit Tipe A tercantum bahwa semua spesialis gigi wajib ada dalam PMK No.56 sedangkan dalam PMK No.30 untuk kualifikasi rumah sakit yang sama tak ada satupun dokter gigi spesialis gigi wajib ada sebagai bagian dari standar rumah sakit kelas A. Oleh karena itu gambaran tersebut diatas menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah di negeri ini masih dibutuhkan dokter gigi spesialis? Apakah terbitnya PMK No.30 ini benar-benar berbasis kebutuhan masyarakat, memiliki naskah akademik, dan mempertimbangkan data base dan perkembangan penyakit gigi dan mulut di masyarakat. Ketika negara-negara maju semakin berkembang dengan metode pelayanan kesehatan holistic care dengan ketersediaan tenaga medis, mudah di akses dan bersinergi dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kedokteran modern rasa-rasanya kita kembali mundur seribu langkah. Kita berharap bahwa Indonesia pada masa yang akan datang dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara utuh, melewati segala batas yang merintangi: batas geografis, batas-batas kepentingan politik, batas-batas apapun yang menghambat sinergitas sehingga segala kebijakan demi kepentingan masyarakat dapat lahir secara tepat guna.Semoga!(*/app) *) Penulis Alumni PPDGS Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin dan bertugas di Kabupaten Berau Kaltim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: