Membangkitkan Minat Baca Masyarakat di Era Kiwari

Membangkitkan Minat Baca Masyarakat di Era Kiwari

OLEH: ABDULLAH*

Salah satu ciri negara maju adalah masyarakatnya memiliki tradisi membaca dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat di negara-negara berkembang. Kebiasaan membaca telah melekat dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Budaya demikian tidak muncul secara tiba-tiba. Melainkan terbentuk secara perlahan atas inisiatif pegiat sosial, orang tua, institusi pendidikan, dan pemerintah. Pemerintah benar-benar dengan tekun menyediakan fasilitas dan mendorong setiap individu untuk membangun kecintaan pada ilmu pengetahuan. Perbedaan tersebut membawa jurang pemisah antara masyarakat di negara maju dan berkembang. Akibatnya, luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagian besar individu di masyarakat memudahkan pemerintah untuk menginisiasi pembangunan, menciptakan stabilitas, dan mendorong perubahan di berbagai bidang. Generalisasi tersebut tidak bermaksud menciptakan unitas masyarakat dalam kepribadian, gaya hidup, ekspektasi, orientasi, dan budaya. Saya hanya berusaha memudahkan dan memberikan penekanan pada penyebab perubahan bangsa. Pada dasarnya, di negara berkembang tidak semua individu memiliki budaya baca yang rendah. Sebagian di antara mereka mampu mengungguli ilmuwan-ilmuwan Barat dan Eropa yang sudah lama menempati urutan teratas sebagai negara maju yang telah memproduksi beragam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada dorongan individual dan sosial yang mendasari setiap orang untuk menghayati kehidupan yang didapatkan dari materi bacaan. Sehingga memiliki keinginan untuk menggali ilmu melalui aktivitas membaca. Karenanya, bagi sebagian mereka yang memiliki fasilitas yang memadai, membaca adalah kebiasaan yang sulit dihilangkan. Pada dasarnya, salah satu akar keilmuan yang menghasilkan pencerahan kehidupan di masyarakat didapatkan dari proses menelaah beragam ilmu pengetahuan. Yang tentu saja salah satunya berasal dari buku. Sederhananya, semakin sering seseorang membaca, maka akan semakin banyak ilmu yang akan didapatkannya. Mengapa? Karena buku adalah jendela dunia. Di tengah masifnya perkembangan media sosial, kebiasaan membaca buku di masyarakat semakin menurun. Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih sering membaca status di media sosial dibandingkan menelaah buku. Padahal kekayaan dan keutuhan ilmu tidak didapatkan dari catatan-catatan pendek. Melainkan ditelaah dan digali lewat buku. Di era kiwari, jendela dunia sebagaimana pada umumnya telah disematkan pada buku, pelan-pelan mulai memudar untuk ditelaah dan dibaca. Tak sedikit kita temukan individu yang dengan cepat puas hanya dengan bermodal beberapa status pendek di media sosial. Kemudian mengambil kesimpulan atas fenomena sosial. Ironisnya lagi, buku ditinggalkan begitu saja. Menjadi pajangan untuk memperindah rumah. Tentu saja itu berbeda dengan sebagian masyarakat Barat. Buku masih menjadi sumber referensi terpenting. Meski tidak lagi berbentuk fisik—karena sebagian sudah tergantikan oleh e-book—tetapi daya dorong untuk menjadikan buku sebagai sumber pengayaan keilmuan masih terus terpelihara. Bahkan mungkin berkembang pesat. Banyak publikasi yang menunjukkan, sebagian besar pelajar dari Barat, ketika bepergian mereka akan membawa bahan bacaan dalam bentuk buku maupun laporan ilmiah. Selain itu, sedikit saja ada waktu luang, mereka akan memanfaatkannya untuk membaca dan menelaah beragam artikel dan buku. Bacaan mereka bisa berbentuk karangan ilmiah, fiksi, novel, atau temuan terbaru hasil penelitian. Sekilas budaya demikian masih terlampau jauh dimiliki pelajar dan masyarakat Indonesia. Berdasarkan pantauan saya di Kalimantan Timur, dari 100 orang pelajar, hanya satu atau dua orang yang gemar membaca dan menelaah buku. Ini hanya gambaran sederhana yang saya yakini juga berlaku di sebagian besar daerah di Indonesia. Hal itu ditunjukkan lewat Data Perpustakaan Nasional tahun 2017. Data tersebut memperlihatkan budaya baca di Tanah Air masih sangat rendah. Tolak ukur lainnya, tidak sedikit saya temukan para pelajar atau mahasiswa yang mengeluhkan rendahnya minat baca buku. Ada yang beringinan membaca, tetapi setelah membuka beberapa lembar buku, sudah timbul rasa malas. Mengapa budaya baca pelajar Indonesia sangat rendah? Apa penyebabnya? Siapa yang harus berperan untuk meningkatkan minat baca? Jika diselidiki lebih jauh, rendahnya minat baca tersebut terbentuk sejak kecil dalam lingkup keluarga dan lembaga pendidikan. Lebih jauh, pemerintah sebagai penggerak masyarakat lebih senang mengeluarkan "fatwa" ketimbang memberikan contoh nyata keteladanan membaca buku. Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan, "Minat baca harus ditingkatkan dan diperjuangkan agar masyarakat tertarik membaca." Ada beberapa cara untuk meningkatkan budaya baca di kalangan pelajar dan masyarakat. Pemerintah diharapkan tidak hanya mendorong masyarakat untuk gemar membaca. Tetapi harus disertai dengan contoh. Wali kota, bupati, gubernur, dan presiden hingga kepala pemerintahan di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan sebagai ujung tombak kepemimpinan nasional dan daerah perlu menjadi teladan kegemaran membaca buku. Pun demikian dengan setiap individu dan kelompok pegiat sosial yang menginisiasi gerakan membaca. Sejatinya, mereka harus terlebih dulu menjadi teladan. Sehingga secara perlahan dapat membawa pengaruh bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Begitu juga dengan orang tua, guru, dan penggerak institusi pendidikan. Mereka mesti memprakarsai lahirnya budaya baca di tengah masyarakat. Setidaknya setiap hari ada waktu khusus yang disediakan untuk membangun keteladanan mencintai ilmu pengetahuan lewat menelaah beragam buku. (*Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: