Relevansi Gagasan Cak Nur dalam Praktik Politik Masa Kini

Relevansi Gagasan Cak Nur dalam Praktik Politik Masa Kini

OLEH: ABDULLAH*

Kontestasi politik yang terjadi dari waktu ke waktu di Indonesia semakin runyam. Hal itu ditandai dengan upaya menghalalkan segala cara. Dalam meraih jabatan publik. Mereka yang ditunjuk untuk menyalurkan dan merealisasikan aspirasi masyarakat pun tidaklah benar-benar menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik dan benar.

Pada saat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah melontarkan gagasan yang sangat fenomenal, “Islam Yes, Partai Islam No”. Ide yang mendapat respons beragam dari publik di era 1970-an itu ternyata masih relevan hingga kini. Ungkapan cendekiawan muslim itu sudah cukup mewakili kita. Dalam menjelaskan fikih politik. Sebagai konsep dasar untuk menilai praktik-praktik partai dan politisi yang membawa label “Islam”. Dalam menjalankan tugas dan fugsinya. Cak Nur sejatinya ingin menegaskan, dalam berpolitik yang sering kali ditandai dengan intrik, label Islam tidak disalahgunakan atau hanya dipajang sebagai nama yang hampa terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Relasi Islam dan politik modern dalam praktik bernegara dan bermasyarakat di masa kini tidak bisa dihindari. Apalagi di tengah masyarakat yang didominasi umat Islam. Cak Nur mengeluarkan ungkapan “Islam Yes, Partai Islam No” karena ia ingin mencoba mendobrak model berpikir simbolis sebagian muslim mengenai Islam dan politik. Pandangan ini memecah batu kejumudan berpikir. Agar umat muslim Indonesia mampu bangkit dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cak Nur sebagai cendekiawan perlu menata dan meletakkan kembali nilai-nilai dasar Islam dalam politik. Inilah yang dinamakan sebagai fikih siyasah. Ia ingin menegakkan moralitas dan menjunjung tinggi Islam dalam mengurus persoalan-persoalan kebangsaan dan keumatan di Indonesia. Sejatinya, apa yang disampaikan oleh Cak Nur bukanlah untuk mempertentangkan Islam dan politik. Melainkan sebagai kritik terhadap kiprah partai Islam yang kurang berkontribusi bagi kemajuan umat Islam. Partai Islam saat itu—juga saat ini—belum aspiratif dan aktif dalam menjawab harapan-harapan umat dan bangsa. Pun demikian, partai Islam belum dapat secara baik membumikan bahasa agama ke dalam tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural. Bila kita gali lebih jauh, pandangan Cak Nur itu bukan hanya untuk partai Islam. Tetapi juga untuk partai-partai nasionalis. Terlebih dalam konteks sekarang, partai Islam maupun partai nasionalis sangat jauh dari aspirasi dan kehendak masyarakat. Apalagi dalam praktik pemilihan dan pengusungan calon legislatif dan eksekutif. Partai-partai tertentu hanya melihat dari segi popularitas dan finansial semata. Standar elektabilitas untuk menuju jabatan publik juga hanya dilihat dari dua hal tersebut. Bukan dari segi kecerdasan dan kepiawaian dalam mengelola negara. Lewat ungkapan di atas, Cak Nur hendak menawarkan perspektif Islam yang lebih substansial ketimbang simbolis belaka. Perspektif yang berdasarkan nilai-nilai universal dalam Islam bukan pada simbol partai Islam. Melainkan bagaimana nilai-nilai dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad tersebut dijadikan sebagai ruh dalam menjalankan urusan negara dan bangsa. Gagasan Cak Nur soal simbolisasi Islam melalui partai Islam merupakan langkah maju. Menurut dia, akan lebih ideal jika Islam mampu memperlihatkan substansinya sebagai panduan moral dalam tindak tanduk di ruang publik. Ketimbang memperlihatkan bentuknya semata sebagai partai Islam. Keberadaan partai Islam sejatinya untuk menyerap aspirasi umat saat ini. Karena itu, kontestasi dalam meraih jabatan publik atau kekuasaan di pemerintahan tidak boleh menihilkan misi profetik. Yaitu menghadirkan kesejahteraan, menganjurkan harmoni dan toleransi dalam kehidupan masyarakat. Sebab jika partai Islam dibentuk sekadar untuk meraih kekuasaan, lantas apa bedanya dengan partai nasionalis? Menurut Cak Nur, mereka yang dipercaya menjalankan tugas kepartaian dan pemerintahan harus memiliki psychological striking force dalam memperjuangkan aspirasi umat serta hak-hak dasar manusia dan alam. Dalam bingkai Islam sebagai rahmatan lil aalamiin. Dengan begitu, para elite politik mampu menjawab persoalan sosial budaya yang dihadapi dalam setiap generasi Islam. (*Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: