Terpaksa dari Kaltara

Terpaksa dari Kaltara

TANJUNG REDEB, DISWAY – Pembangunan bisa saja terhambat di Kabupaten Berau, tak hanya pembangunan oleh pemerintah daerah, tapi swasta hingga masyarakat. Jika urusan pasir belum juga kelar. Banyak yang terpaksa membeli dari Bulungan, Kalimantan Utara.

Pelaku pengembang perumahan merasakan dampak. Salah satunya pengembang Winanda Residence, Muhammad Arif Kamaruddin. Diakuinya, untuk memenuhi kebutuhan material pasir dalam membangun perumahan, terpaksa harus mendatangkan pasir dari Bulungan, Kaltara sejak dua pekan lalu. Dikatakannya, harga pasir normal per rit truk berkisar Rp 400 ribu, karena pasir di Berau sudah tidak ada, maka pihaknya terpaksa membeli pasir dari Bulungan dengan harga Rp 1.350.000. Setiap hari membutuhkan 4 rit pasir. “Selisihnya, Rp 950 ribu. Kalau dikalikan 4, selisihnya sampai Rp 3,4 juta. Ini sudah 2 Minggu ambil di Bulungan, kalikan saja. Apa lagi kalau sampai sebulan, selisihnya bisa sampai sekitar Rp 100 juta,” jelasnya. Sementara, kegiatan pembangunan rumah tidak bisa dihentikan. Karena selain kasihan kepada pekerjanya, juga rumah yang dibangun harus segera diselesaikan karena akan ditempati pembeli di pengujung Maret ini. “Ada 30 orang tukang yang didatangkan dari Makassar, Sulawesi Selatan, belum lagi tukang lokal. Dan yang paling utama, pembeli rumah sudah kita janjikan tepat waktu. Ini yg belum selesai ada 17 rumah,” tuturnya. Meskipun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam membeli pasir di luar daerah, terpenting rumah yang dibangun di Kecamatan Sambaliung, dapat selesai tepat waktu. “Tipis untungnya, yang penting tanggung jawab terpenuhi,” katanya. Diharapkan, terkait sulitnya pasir di Kabupaten Berau dapat segera selesai, agar pasir tidak menjadi kendala dalam membangun rumah, maupun bangunan lainnya. “Harus ada kelonggaran bagi pekerja pasir dapat melakukan kegiatannya sambil mengurus izin yang diperlukan,” ujarnya. Sementara itu, Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Berau Fitrial Noor mengatakan, persoalan pasir bukan karena sulit ditemukan di Berau, regulasinya juga bukan hal yang berbelit-belit. Karena faktanya, di daerah lain pasir juga menjadi hal yang umum untuk ditambang dan dijual belikan untuk berbagai kebutuhan. “Tetapi ini, hanya soal kurangnya koordinasi secara intensif saja dari berbagai pemangku kepentingan di Berau,” jelasnya. Tentu Pemkab Berau kata dia, sudah saatnya melakukan koordinasi dengan pihak terkait, sehingga para penambang pasir di Berau bisa kembali melakukan aktivitas, agar kebutuhan pasir bisa kembali terpenuhi. “Apalagi saat ini banyak sekali kegiatan-kegiatan konstruksi baik itu pribadi, maupun milik pemerintah yang sangat membutuhkan material pasir,” katanya. Menurutnya, pasir merupakan salah satu komponen penting pembuatan konstruksi bangunan. Jika terus mengalami kelangkaan, karena pekerja pasir tidak bisa beraktivitas dikhawatirkan kegiatan pembangunan dapat terkendala. “Dampak tidak tersedianya pasir di pasaran, tentu sangat besar, karena kan pasir merupakan salah satu material utama dalam dunia konstruksi. Tentu diharapkan, kondisi ini dapat segera selesai dan ada solusi,” pungkasnya. Terpisah, Ketua DPC Asosiasi Pelaksana Konstruksi Nasional (Aspeknas) Berau, Andi Sawega menyayangkan, adanya dugaan oknum petugas yang bermain, dari kekosongan material pasir di Bumi Batiwakkal. Dikatakannya, kondisi peralihan izin sebenarnya telah dibahas bersama jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Yang mana, memunculkan kebijakan bersama, sebagai dispensasi atas ketidakjelasan kewenangan, dan tahapan penerbitan izin pemanfaatan pasir sungai. “Hal ini terlihat dari munculnya surat dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), melalui Dirjen Mineral dan Batu Bara mengenai status Dinas ESDM provinsi, dalam peralihan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara,” jelasnya, Selasa (9/3). Bahkan lanjut Andi, jika dilihat dalam surat Dirjen Minerba yang bernomor 228/HK.01/DJB/2021 itu, tetap juga menyampaikan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terkait diperlukannya nomenklatur, atau keberadaan perangkat di daerah. Hal itu dilakukan, sambil menunggu diterbitkannya peraturan presiden tentang pendelegasian kewenangan di bidang usaha pertambangan mineral dan batu bara. Kemudian membuat dilema adalah, pemanfaatan pasir sungai dianggap sebagai pertambangan, yang prosesnya hampir sama seperti mengurus izin menambang mineral berupa logam dan batu bara. “Masa, ambil pasir sungai, harus ada WIUP, baru IUP Eksplorasi dan IUP Produksi. Tentu hal itu tidak dimungkinkan untuk diurus para pelaku usaha pasir yang masih skala UMKM tersebut," jelasnya. Dengan luasan lahan, kapasitas produksi, biaya pengelolaan dan harga jual menurutnya, jika proses perizinan harus melalui pusat, tentu akan memberatkan pengusaha berskala UMKM. Belum lagi, tidak adanya kepastian regulasi terkait petunjuk teknis dalam pengajuan izin tersebut. "Ini kalau dianggap pertambangan, apakah pakai SPPL saja, atau wajib UKL/UPL bahkan Amdal? Ini juga jadi pertanyaan besar. Kalau SPPL mungkin tanpa biaya, tapi kalau sudah kelas UKL/UPL dan AMDAL, itu biaya konsultannya saja sudah ratusan juta. Apakah mereka sanggup?" tanyanya. Meskipun semua itu dapat terpenuhi, hal ini juga akan memengaruhi harga jual pasir ke masyarakat. Bahkan harganya bisa mencapai berkali-kali lipat. “Misalnya harga pasir sekarang Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per muatan, harganya bisa sampai jutaan. Yang dirugikan dari kondisi saat ini lebih kepada masyarakat umum dan pengembang perumahan rakyat. Kalau kontraktor, bisa saja mengajukan perubahan harga satuan material pasir," terangnya.*/ZZA/APP

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: