Pandemi COVID-19, Krisis Pangan, dan Catatan Kritis terhadap Program Food Estate

Pandemi COVID-19, Krisis Pangan, dan Catatan Kritis terhadap Program Food Estate

OLEH: KANA KURNIA*

Pandemi COVID-19 di dunia sejak awal tahun 2020 mengakibatkan dunia terancam krisis pangan yang bisa berdampak luas ke berbagai aspek. Organisasi pangan dunia bahkan telah memperingatkan akan adanya ancaman krisis pangan yang dapat terjadi seiring berlangsungnya pandemi COVID-19. Hal ini membuat organisasi pangan dunia dan WHO menaruh perhatian besar pada ketahanan pangan serta sistem pengawasan keamanan pangan nasional sebagai antisipasi terhadap perluasan dampak pandemi secara global.

Di Indonesia, pandemi COVID-19 pada awalnya sempat mengganggu sistem pangan nasional. Hal ini dibuktikan dengan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Produksi pertanian domestik diperkirakan menyusut sebesar 6,2 persen. Begitu juga dengan impor pangan yang ditaksir mengalami penurunan sebesar 17,11 persen, serta harganya yang diperkirakan naik sebesar 1,20 persen dalam jangka pendek dan 2,42 persen pada 2022. Oleh karena itu, kurangnya pasokan dalam negeri dapat mengakibatkan kekurangan pangan. Sementara inflasi harga makanan berpotensi terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan rencananya untuk membangun food estate. Imbas dari peringatan krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Selain di Kalimantan Tengah (Kalteng), food estate rencananya juga dibangun di Provinsi Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate. Food estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi dan terdiri atas pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di lahan yang luas. Program ini rencananya diproyeksikan sebagai suatu moda produksi terobosan yang diimplementasikan dengan tujuan demi terpenuhinya kebutuhan pangan Indonesia. Kebijakan food estate ini pada awalnya pernah dilakukan pada masa pemerintahan presiden Soeharto di Kalteng. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalteng. Selanjutnya, proyek tersebut ternyata gagal dan dihentikan oleh Presiden B.J Habibie. Kemudian program food estate kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Yang disahkan pada 11 Agustus 2010 oleh Kementerian Pertanian. Pada akhirnya, program MIFEE pun menuai kritik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, dan institusi riset. Karena pemerintah dianggap mengabaikan dampak negatif dari program MIFEE tersebut. Seperti deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, dan konflik sosial. Adapun dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam pembangunan food estate adalah Permen LHK 24/2020. Permen ini mengatur hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi dapat diresmikan untuk pembangunan food estate. Bahkan dalam hal pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan, peraturan tersebut dapat berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu. Tentu saja ini menimbulkan dua konsekuensi. Pertama, hutan lindung dapat dimanfaatkan sebagai lahan food estate. Kedua, kayu yang terdapat di dalamnya dapat ditebang dan dimanfaatkan. Apakah Permen LHK tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi? Jelas bahwa Permen LHK itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU tersebut mengatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung. Yaitu untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Tiga jenis pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan syarat tidak mengurangi fungsi hutan, dilakukan demi kesejahteraan masyarakat, dan juga menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melindungi fungsi lindung hutan. Kemudian, ketentuan Pasal 30 ayat (1) Permen LHK 24/2020 berbunyi, keputusan menteri tentang pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan dapat berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu. Hal ini berarti pepohonan dalam kawasan hutan lindung dapat ditebang dan dimanfaatkan kayunya. Apabila mengacu pada UU Kehutanan, kawasan hutan lindung hanya hasil hutan. Bukan kayu yang boleh dimanfaatkan secara terbatas. Juga, bila dilihat definisinya, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah bancir, mengendalikan erosi, dan sebagainya. Tentu saja definisi tersebut tidak akan dapat dicapai apabila pepohonan di dalam kawasan hutan lindung tersebut ditebang dengan bebas. Kritik penulis lainnya, kebijakan food estate bertentangan dengan prinsip kehati-hatian hukum lingkungan. Apa itu prinsip kehati-hatian dan mengapa begitu penting? Pada dasarnya prinsip kehati-hatian digunakan sebagai acuan atau panduan untuk mencegah agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Penting untuk dipahami bahwa prinsip kehati-hatian perlu diimplementasikan karena adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang serius. Bahkan tidak dapat dipulihkan. Bagaimana dengan food estate? Apabila ditelisik dari sejarah proyek lahan gambut, dapat dilihat bahwa dampak pembukaan lahan gambut justru bisa sangat berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman yang serius. Kebakaran pada lahan gambut bisa berdampak sangat luas dan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Hingga akhirnya, dapat dipahami bahwa kajian lingkungan hidup sangat diperlukan untuk memastikan pencegahan atau pencemaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa pelaksanaan proyek food estate memiliki rekam jejam yang buruk. Khususnya di bidang lingkungan hidup. Permen LHK 24/2020 juga bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan prinsip kehati-hatian. Karena itu, penulis menyarankan, seharusnya pemerintah mengubah sistem pertanian dan penggunaan lahan skala luas dengan menjalankan reforma agraria berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan hidup. (*Dosen Hukum Universitas Mulia Balikpapan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: