Pilkada: Memilih Pemimpin atau Penguasa?
OLEH: RAHMANI*
Saat kita memasuki hari-hari menjelang pelaksanaan Pilkada 2020, media sosial diributkan dengan berbagai dukungan untuk calon tertentu. Ada yang mengusung calon dengan alasan karismanya. Ada yang mendukung karena kekayaannya. Ada yang mendukung karena memori masa lalunya. Ada pula yang mendukung karena pertahana. Untuk memilih pemimpin yang sudah teruji, ada baiknya kita meniru cara memilih pemimpin di dunia binatang. Khususnya di dunia saudara tidak sekandung kita: monyet.
Di dunia hewan–terutama di dunia kera–pemimpin itu biasanya muncul dari bawah. Dan untuk bisa menaiki jenjang kepemimpinan, maka seekor kera harus benar-benar bisa membuktikan bahwa dirinya memang layak diakui sebagai pemimpin. Kera itu harus melewati berbagai pertempuran. Di balik bulu-bulu kera yang menjadi pemimpin, dalam sekelompok kawanannya itu biasanya akan banyak sekali ditemukan “scars” dan pitak-pitak bekas cakaran dan gigitan lawan dalam berbagai pertempuran. Tapi deretan scars dan pitak-pitak itulah yang membuat sang pemimpin menjadi sedemikian berwibawa dan disegani. Kalau ada kera-kera lain yang ingin mengganggu, maka sang pemimpin cukup menyeringai dan menaikkan bulu-bulu lehernya dari kejauhan. Lalu mereka yang hendak coba-coba membuat gara-gara itu akan segera menyingkir jauh-jauh.
Sampai beberapa waktu yang lalu, hal yang sama juga terjadi di dunia manusia. Mereka yang terpilih menjadi raja atau jenderal biasanya memang sudah bertarung sejak dari bawah. Karena kepalanya masih melekat di badannya sajalah (tidak sampai kena tebas lawan) maka dia yang terpilih. Tapi perkembangan demokrasi dan revolusi yang terjadi dalam teknologi media komunikasi memang telah mengubah segala-galanya. Kini di dunia manusia–terutama manusia Indonesia–untuk bisa terpilih jadi pemimpin, seseorang tak perlu lagi harus melewati berbagai pertempuran sejak dini. Dia cukup memanipulasi media dan membangun politik pencitraan atas dirinya.
Pada pihak lain, celakanya, kriteria masyarakat tentang seorang pemimpin pun mulai bergeser. Orang tak perduli lagi seberapa banyak scars dan pitak-pitak yang telah dikumpulkan oleh si calon pemimpin. Orang lebih peduli dengan cara berbicara, cara berpakaian dan bungkus-bungkus lain dari sang pemimpin. Bahkan apa visi si calon pemimpin pun nyaris tak disimak.
Karena itu, tidak usah heran kalau pemain sinetron atau bintang seminar bisa terpilih menjadi pemimpin. Tidak usah heran pula kalau seorang “anak manis” yang tidak pernah memimpin sekelompok kecil massa pun bisa menjadi pemimpin besar. Dan akhirnya tidak usah heran pula kalau setelah terpilih menjadi pemimpin mereka ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menjadi sekadar penggembira dari sebuah proses yang bernama demokrasi.
Saya tak anti terhadap demokrasi, dan bukan pula hendak menganjurkan agar kita kembali ke zaman jahiliah. Yang hendak saya pesoalkan ialah, bagaimana menciptakan sebuah mekanisme pemilian. Agar di tengah-tengah berondongan dan manipulasi media massa, kita tetap berhasil memilih pemimpin yang sejati. Yaitu mereka yang memang telah berhasil melewati berbagai palagan persoalan bangsa dan negara.
Bangsa Indonesia telah berusia 75 tahun. Namun belum sepenuhnya menjunjung tinggi substansi demokrasi Pancasila. Sebagai sebuah sistem demokrasi yang bermartabat. Dalam praksis kehidupan. Kita selama ini bicara tentang demokrasi tanpa kita memahami dan menghayati substansi maknanya. Penggunaan pendekatan kekuasaan dan kekerasan dalam memecahkan persoalan bangsa, jelas bukanlah ciri masyarakat demokratis. Namun sebaliknya adalah cara-cara dalam sistem absolutisme. Ironis, bahwa dalam retorika demokrasi di Indonesia, iklim pendekatan pragmatisme kekuasaan masih terus terjadi. Salah satu pembenaran terhadap situasi demikian tadi adalah bahwa Indonesia sedang berada dalam proses transisi demokrasi dari absolutisme ke demokrasi prosedural menuju ke demokrasi substantif.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebenarnya hanya sebuah prosedur demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan secara elektoral di daerah. Para penguasa politik di daerah sering memiliki pemahaman bahwa jika sudah berhasil mendapatkan legitimasi dalam politik electoral, maka mereka menganggap sebagai pemimpin demokratis. Pemahaman seperti itu tentu masih jauh dari substansi demokrasi yang kita harapkan. Yaitu melahirkan kepahlawanan dan sekaligus negarawan. Demokrasi prosedural yang hanya berpusat pada proses politik elektoral sebagai dasar legitimasi demokrasi, sering kali dikontraskan dengan demokrasi substantif atau partisipatoris. Yang memusatkan partisipasi dari semua kelompok masyarakat. Untuk terlibat dalam proses politik. Sebagai dasar legitimasi. Sebagaimana ditulis oleh Kaldor Mary dalam sebuah paper “Democracy in Europe After The Elections”.
Politik elektoral semestinya hanya merupakan pintu masuk dan cara menentukan pendapat dalam demokrasi serta seharusnya berada dalam dimensi politik kebangsaan. Gejala sakitnya demokrasi juga bisa dilihat pada munculnya politik elektoral yang manipulatif untuk memenangkan konstituen politik. Penguasa politik yang menggunakan basis konstituen elektoral dari hasil manipulasi dan politik uang akan menampilkan kepemimpinan yang korup. Dalam suatu sistem politik recehan. Manipulasi dukungan melalui praktek politik recehan justru saat ini melahirkan satu frasa yang sekaligus kritik pada praktek demokrasi prosedural. Yaitu “Vox Populi, Vox Argentum” atau suara rakyat adalah suara recehan. Kekuasaan politik yang diperoleh karena manipulasi akan memunculkan manipulasi berikutnya oleh kelompok elite politik dengan segala permasalahannya.
Pilkada 2020 akan diselenggarakan di 270 wilayah di Indonesia. Meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Akibat pandemi COVID-19 ini, Pilkada Serentak 2020 yang sedianya akan dilaksanakan pada 23 September 2020 diundur menjadi 9 Desember 2020. Dalam pelbagai berita dari media massa, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai keputusan pemerintah dan DPR untuk tetap menggelar Pilkada di tengah pandemi COVID-19 ini penuh dengan kepentingan.
Bukan berita baru jika biaya politik di Indonesia tergolong tinggi. Sehingga membuat sebagian besar calon kepala daerah didanai sponsor. Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, ada sekitar 82 persen calon kepala daerah didanai oleh sponsor, dan tidak murni didanai oleh pribadinya. Hal itu menunjukkan adanya aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah.
Biaya politik yang tinggi disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain budaya “mahar politik”. Para kandidat kepala daerah harus merogoh kocek yang dalam untuk “mahar politik”, dan akan lebih mahal lagi jika didukung oleh banyak partai politik. Biaya politik lainnya terkait dengan anggaran belanja logistik kampanye, membiayai mesin parpol, tim sukses, relawan, konsultan politik, dan lembaga survei.
Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih melalui Pilkada hendaklah mereka yang secara ekonomi telah mapan. Meski definisi mapan itu relatif. Kemudian terlatih secara formal, informal dan non-formal. Baik melalui organisasi maupun pergaulan yang panjang. Sehingga terbiasa berbeda pendapat atau dalam bahasa dunia kera, bagaimana menjaring pemimpin yang punya banyak scars dan pitak-pitak dalam kehidupannya. Karena itu, ketika nanti dia duduk di tampuk kekuasaan, cukup dengan sedikit sorotan mata dan senyum menyeringai, kepemimpinannya sudah berjalan secara efektif. Jadi, memilih pemimpin daerah jangan dicoba-coba pada orang yang belum teruji. Dalam perspektif keyakinan yang saya anut, “Barangsiapa yang menyerahkan sebuah perkara pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Wallahu a’lam bisshawab.(*Alumnus Magister Hukum Kesehatan Universitas Padjadjaran)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: