Ketika Agama Jadi Alat Perpecahan

Ketika Agama Jadi Alat Perpecahan

Serangan Kaum Padri mengakibatkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri. Sisa-sisa kehancuran kesultanan Pagaruyung digambarkan dalam catatan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1818. Dalam kunjungannya, Raffles menyaksikan tak ada yang tersisa dari Istana Pagaruyung. Kecuali reruntuhan istana yang telah habis terbakar.

MEMETIK PELAJARAN

Berbeda dengan perang Jawa, Perang Puputan di Bali atau Perang Aceh yang pecah akibat kesadaran perjuangan melawan kolonialisme, Perang Padri justru berawal dari perseteruan sesama pribumi. Perasaan lebih memahami ilmu agama membuat Kaum Padri dengan keras melawan penafsiran Kaum Adat atas agama Islam dan sepenuhnya menolak tradisi leluhur di Minangkabau. Tanpa disadari, kehadiran kolonial Belanda kemudian menyeruak di tengah mereka hingga memecah-belah ketika Belanda menyepakati kerja sama dengan Kaum Adat melawan Kaum Padri.

Sejatinya, Kaum Padri dan Adat, sesama saudara satu bangsa dan satu agama, telah merasakan penderitaan di tengah penjajahan Belanda. Dengan dalih menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya yang memerlukan biaya, Belanda kemudian mewajibkan pribumi untuk menanam kopi dan diharuskan menjual hasil kopinya kepada Belanda dengan harga yang amat rendah melalui kebijakan Cultuurstelsel. Sayangnya, alih-alih bersatu dengan sesama pribumi untuk memberontak melawan kolonialisme Belanda, Kaum Padri membutuhkan waktu puluhan tahun memerangi saudaranya Kaum Adat. Sebelum keduanya bersatu melawan Belanda.

Perang Padri adalah buah dari kuatnya egosentris kaum muslim Mandailing dan Minangkabau yang kala itu sama-sama mendiami wilayah Kesultanan Pagaruyung. Yang tengah berkembang pesat. Perseteruan antar saudara pada akhirnya dimanfaatkan oleh Belanda. Untuk merebut kedaulatan tanah Minangkabau secara keseluruhan. Melalui upaya adu domba antara Kaum Adat dan Kaum Padri. Yang sama-sama merupakan komponen masyarakat Minangkabau.

Identitas agama, khususnya Islam, tak diragukan lagi kini kembali membayangi masyarakat Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir. Tanpa adanya sosok kolonial Belanda, perang fisik saat ini memang tidak benar-benar terjadi seperti di era Perang Padri. Namun haruskah identitas agama kembali memecah-belah masyarakat, khususnya umat muslim Indonesia? (mmt/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: