Ketika Agama Jadi Alat Perpecahan

Ketika Agama Jadi Alat Perpecahan

Merasa terganggu menyaksikan Kaum Adat di tengah adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, salah satu tokoh penting Kaum Padri, Haji Miskin, yang pernah tinggal di Mekkah sesudah pendudukan wahabi tahun 1803 di Kota Hijaz, mulai melarang warga melakukan sabung ayam.

Pada suatu malam, ia membakar balai yang biasa dipakai untuk sabung ayam hingga memicu kemarahan Kaum Adat. Haji Miskin dikejar. Dia berhasil mengamankan diri di Kota Lawas. Kemudian mendapatkan perlindungan dari Tuanku Mensiangan atau dikenal juga Tuanku Pasaman, seorang panglima Kaum Padri.

Berawal dari tindakan pembakaran balai, setiap kaum mulai mengumpulkan pengikut dan mempertahankan argumen masing-masing. Bersama Haji Miskin, terdapat setidaknya delapan ulama. Seperti Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku Kapau.

Jeff Hadler dalam buku Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan. Kolonialisme di Minangkabau (2010) menjelaskan, sebutan tuanku adalah gelar yang diberikan kepada ulama tingkat tinggi di Sumbar. Sikap keras para tuanku terhadap segala tindakan yang berbau adat istiadat membuat mereka dijuluki Harimau Nan Salapan.

Sebelumnya, mereka sempat bermusyawarah dengan Tuanku nan Tuo. Semula mereka hormati. Yang menyetujui gerakan pemurnian ajaran Islam di Minangkabau. Asal dengan cara-cara lunak. Menurut Tuanku nan Tuo, cara keras hanya akan melahirkan kekerasan baru. Akhirnya, Harimau nan Salapan memilih sikap Tuanku Pasaman, yang juga sama-sama keras, hingga memicu perang saudara yang berkepanjangan.

Periode pertama Perang Padri, tahun 1803 hingga 1821, terjadi pertempuran sporadik antara kekuatan reformis (Kaum Padri) dan tradisionalis (Kaum Adat). Dengan semangat, Kaum Padri mengumumkan jihad melawan Kaum Adat, membakar rumah-rumah gadang, dan membunuh para pemimpin adat.

Tahun 1815, tanpa adanya seruan yang berpengaruh dari Sultan, Kaum Padri mulai geram dan melakukan penyerangan terhadap Kesultanan. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, mereka menyerang Kerajaan Pagaruyung. Puncaknya, pecahlah peperangan di Koto Tangah. Pada peperangan ini, beberapa tokoh Kesultanan tewas terbunuh. Akibat kesalahpahaman antara Kaum Padri dan orang-orang Pagaruyung.

Dalam bukunya, Parlindungan menyebutkan pembantaian yang dilakukan Kaum Padri terhadap Kerajaan Pagaruyung, istana kuno Minangkabau yang dianggap sebagai sumber budaya Melayu. Istana ini menjadi korban serangan Tuanku Pasaman dan orang-orang Batak Mandailing oleh serangan pasukan Tuanku Rao.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: