Mengurai Kelemahan Program Edi-Rendi (2)

Mengurai Kelemahan Program Edi-Rendi (2)

OLEH: HAIDIR*

Mengkaji dan menganalisa program yang ditawarkan pasangan calon (paslon) pada pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat menarik dan penting. Menarik karena program-program paslon akan menjadi gambaran masa depan daerah. Hal ini terlihat secara garis besar dari program yang ditawarkan oleh setiap paslon. Dikatakan penting karena informasi-informasi dan analisa yang terkait dengan perspektif program akan menjadi dasar yang berharga bagi masyarakat sebagai calon pemilih. Untuk menentukan pilihannya pada masa pencoblosan di bilik suara. Apalagi Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) 2020 ini hanya menghadirkan paslon tunggal. Sehingga program-program paslon lain tidak mungkin ada. Untuk menjadi pembanding. Dalam mengukur kualitas program di antara paslon.

Pertama, Program Kukar Kaya Festival: 100 Festival. Kami tentu belum mengetahui secara pasti apa yang akan dikerjakan dengan Program Kukar Kaya Festival. Tapi asumsi kami, tentu tidak terlepas dari kegiatan yang bersifat kebudayaan. Sebab sebagaimana diketahui khalayak umum, istilah festival selalu dikaitkan dengan aspek budaya.

Kutai secara umum dikenal hanya dalam dua aspek besar. Yakni kekayaan sumber daya alam dan budaya daerahnya. Dalam aspek budaya, Kutai dikenal karena budaya Kutai dan budaya Dayak Borneo. Ketika pemekaran wilayah, maka yang tersisa secara utuh untuk dikenalkan kepada dunia luar hanya budaya Kutai. Yang terkait erat dengan Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Sementara budaya Dayak Borneo hanya tersisa sedikit di satu atau dua kecamatan. Ikon besarnya telah menjadi milik Kutai Barat dan sebagian kecil ada di Kutai Timur.

Oleh karena itu, untuk tetap mempertahankan ikon budaya Kutai, maka jalan paling efektif adalah dengan memberikan perhatian yang maksimal kepada pemangku adat Kutai. Yakni pihak Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Kesultanan sebagai pemegang otoritas turun-temurun terhadap budaya Kutai memiliki konsep utuh. Memiliki perangkat dan legalitas secara de facto dari perspektif sejarah. Pihak kesultanan tentu lebih berhak menghidupkan, menjaga serta membuat inovasi terhadap budaya Kutai.

Kesultanan Kutai Ing Martadipura memiliki Erau sebagai salah satu momentum tahunan untuk menghidupkan, memelihara dan mengenalkan kebudayaan Kutai. Membuat event lain terkait budaya Kutai bukan tidak boleh. Tetapi secara etik harus sepengetahuan/izin pihak kesultanan. Yang paling baik, hendaknya kegiatan-kegiatan itu dikolaborasikan dengan pesta adat Erau. Agar bisa dikontrol secara ketat dan cermat. Sehingga tidak keluar dari frame utama budaya Kutai.

Terkait dengan menjaga kelestarian budaya Kutai, maka perhatian dan keberpihakan pemerintah daerah harus diperkuat. Dengan alokasi anggaran hibah yang rata-rata hanya Rp 4 miliar/tahun, belum dapat dianggap merupakan bentuk perhatian serius. Dengan anggaran yang hanya sebesar itu, maka tidak memadai untuk memberikan ruang yang maksimal bagi pihak Kesultanan Ing Martadipura. Untuk menghidupkan kembali dan menjaga kebudayaan Kutai. Bahkan dalam hemat kita, anggaran hanya sebesar itu per tahun belum cukup untuk membiayai aset-aset dan operasional kesultanan. Sehingga kondisinya sangat memprihatinkan. Seakan mati segan hidup tak mau.

Kita mengkhawatirkan adanya program festival yang digagas oleh paslon akan mengeser secara sadar atau tidak sadar peran kesultanan dalam kebudayaan Kutai. Atau patut dikhawatirkan bahwa event-event yang akan ditampilkan tidak lagi khas budaya Kutai.

Kedua, Program Rp 50.000.000 Per RT. Mengingat RT di Kukar jumlahnya di atas tiga ribuan, maka program yang ditawarkan oleh paslon tunggal tentu akan menyerap anggaran yang cukup besar. Program yang dijelaskan paslon dan timses dengan beragam versi ini menjadikannya sangat diragukan. Apakah ada target-target utama untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat atau hanya sebagai jargon-jargon untuk mendulang simpati dan kemenangan paslon saja. Paling tidak, anggaran yang harus digelontorkan untuk program “tanpa bentuk” ini akan menelan dana lebih dari Rp 150 miliar/tahun.

Ada beberapa masalah yang menanti program ini jika dilaksanakan ke depan. 1) Bisa jadi anggaran Rp 50 juta yang terakumulasi sebesar lebih dari Rp 150 miliar itu akan mengalami nasib yang sama dengan Alokasi Dana Desa (ADD) yang “dipaksa” untuk melaksanakan Program Sewa Menyewa Mobil Raga Pantas. Bentuknya mungkin berbeda. Tapi prinsipnya akan sama. Misalnya digunakan untuk membeli perlengkapan rapat, kegiatan RT, dan sejenisnya. Sehingga RT hanya menjadi penanggungjawab kegaiatan. Tapi yang mendapatkan keuntungan langsung adalah pihak ketiga. Sebagaimana yang terjadi dengan proyek Stunting Sewa Mobil Raga Pantas Keluarga Idamanan.

2) Pelimpahan otoritas pengelolaan dana Rp 50 juta oleh ketua RT akan sangat berat tanpa kejelasan peruntukannya. Di tengah kondisi ekonomi masyarakat, maka otoritas yang ada di tangan ketua RT sama saja seperti memegang bara api. Akan banyak permintaan dari masyarakat terhadap dana yang terbatas tersebut. Jika dilonggarkan, maka permintaan akan melonjak. Tapi jika diperketat, akan menjadi beban fitnah bagi ketua RT. Itu bayangan kondisi yang bakal terjadi manakala program tersebut digulirkan.

3) Penentuan program oleh rapat RT dan pelaksanaan langsung oleh ketua RT terhadap program dari masyarakat juga tidak akan menutup adanya tarik-menarik kepentingan antara sesama masyarakat. Karena ide, harapan, serta kebutuhan warga RT yang rata-rata berjumlah 500 orang sangat tidak berimbang dengan jumlah dana yang tersedia.

4) Menyamaratakan jumlah dana setiap RT tanpa melihat banyaknya perbedaan antara satu RT dengan RT yang lain adalah tindakan yang tidak berkeadilan. Ada RT yang memiliki akses yang jauh dengan pusat perniagaan dan bisnis; ada RT yang jumlah penduduknya sedikit; ada RT yang dengan infrastruktur buruk dan sebagainya, menjadikan nominal dana yang sama, akan sangat berbeda nilai kegunaannya bagi masing-masing RT.

Oleh karena itu, program Rp 50 juta/RT ini bisa dimaknai lebih sebagai usaha paslon tunggal. Untuk menarik simpati masyarakat. Daripada untuk kepentingan menyejahterakan masyarakat.

Ketiga, Program Swasembada Jagung 30.000 Hektare. Program ini sebenarnya bukan barang baru di Kukar. Karena pernah digagas pada periode sebelumnya. Namun kenyataannya menjadi program gagal. Pada pelaksanaan yang lalu, program ini diberi nama Revolusi Jagung. Kendala utamanya ada pada pemasaran. Program tersebut tak mampu menghadirkan buyer yang akan menjamin pasar bagi produksi petani jagung. Untuk menyiasati masalah itu, maka petani membuat pola dan jadwal waktu tanam. Dengan prediksi kebutuhan tahun baru (permintaan tinggi) dan pasar lokal (permintaan terbatas), maka petani hanya berani menanam jagung manis. Dalam jumlah sedikit. Agar mereka tidak mengalami kerugian di biaya produksi. Akibatnya, program revolusi jagung hanya menjadi cerita manis selezat jagung manis. Tanpa mampu memenuhi target idealnya.

Jika Program Swasembada Jagung yang dibuat oleh paslon hanya berfokus kepada luasan lahan, maka dapat dipastikan produksi pertanian jagung akan mengalami hal yang sama. Karena belum adanya pasar yang mampu menyerap maksimal produksi jagung. Dalam skala massal seperti itu. Program yang sebenarnya sederhana dan menjanjikan tanpa perhitungan matang tidak akan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jika ingin dicermati lebih lanjut dengan ketersediaan lahan 30.000 hektare, program ini juga sangat bombastis. Tanpa menghitung fakta-fakta sebenarnya tentang ketersediaan lahan seluas itu. Belum lagi ketersediaan SDM yang akan mengerjakan program tersebut. Mengingat jumlah petani di Kukar yang relative sedikit. Yang tersisa hanya para petani tua yang tak lagi berada di kondisi puncak produktif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: