Mengurai Kelemahan Program Edi-Rendi (1)

Mengurai Kelemahan Program Edi-Rendi (1)

OLEH: HAIDIR*

Mengkaji dan menganalisa program yang ditawarkan pasangan calon (paslon) pada pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat menarik dan penting. Menarik karena program-program paslon akan menjadi gambaran masa depan daerah. Hal ini terlihat secara garis besar dari program yang ditawarkan oleh setiap paslon. Dikatakan penting karena informasi-informasi dan analisa yang terkait dengan perspektif program akan menjadi dasar yang berharga bagi masyarakat sebagai calon pemilih. Untuk menentukan pilihannya pada masa pencoblosan di bilik suara. Apalagi Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) 2020 ini hanya menghadirkan paslon tunggal. Sehingga program-program paslon lain tidak mungkin ada. Untuk menjadi pembanding. Dalam mengukur kualitas program di antara paslon.

Paslon tunggal yang akan berhadapan dengan kolom kosong jelas tidak akan apple to apple. Untuk dibandingkan. Kolom kosong sebenarnya hanya sebagai media yang diberikan oleh aturan pilkada bagi masyarakat. Untuk menentukan setuju atau tidak setuju terhadap paslon memimpin daerah satu periode mendatang. Oleh karena itu, yang wajib ditimbang, ditelisik, dikenali atau difahami adalah kualifikasi paslon. Apakah bisa memenuhi harapan masyarakat pemilih atau tidak. Hal yang harus digali dari paslon bukan hanya pada personalitas masing-masing. Baik calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah. Tetapi perpaduan keduanya. Merencanakan masa depan daerah. Dalam satu periode pemerintahan jika mereka terpilih.

Terhadap personalitas masing-masing, maka akan sangat sulit untuk dinilai. Karena itu wilayah privat yang akan sangat subyektif untuk dinilai. Kecuali hal-hal yang sengaja ditonjolkan. Terpublikasi sebagai kelebihan personal masing-masing. Baik calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah. Atau hal-hal tertentu terkait pribadi setiap calon. Yang dalam aturan perundangan wajib untuk dipublikasi. Oleh karena itu, terhadap personalitas paslon, tidak akan banyak hal yang bisa dinilai sebagai tolak ukur setuju atau tidaknya masyarakat. Agar mereka dipilih untuk memimpin daerah satu periode ke dapan.

Berangkat dari persoalan di atas, maka visi, misi dan program adalah alat ukur yang dinilai paling tepat. Untuk menentukan penilaian kepada paslon tunggal. Sehingga masyarakat akan lebih mudah menentukan pilihan. Apakah akan setuju atau tidak setuju. Terhadap paslon tunggal. Untuk memimpin daerah dalam satu periode.

Mencermati dan menganalisa semua program yang dipublikasi Paslon Bupati dan Wakil Bupati, Edi Damansyah dan Rendi Solihin, untuk Pilkada Kukar, maka tidak mungkin semuanya ditelaah. Hal ini karena di samping keterbatasan informasi mengenai keseluruhan program yang dipublikasi, juga keterbatasan sarana yang disediakan oleh media ini. Untuk memuat semua hasil telaahan yang akan sangat panjang. Kita juga akan dihadapkan dengan sulitnya memahami nilai primer atau sekunder antara dua kelompok program. Yakni program prioritas/unggulan dan program dedikasi. Manakala beberapa program unggulan/prioritas, walaupun tidak semua, juga ada dalam program dedikasi. Detail program juga belum didapatkan. Untuk bisa dinilai secara jelas dan luas. Apa saja maksud dari program tersebut dan bagaimana program itu dapat diwujudkan serta informasi-informasi tambahan yang penting. Untuk memahami secara utuh tentang program-program tersebut.

Oleh karena itu, hanya program-program tertentu saja yang bisa ditelaah. Terutama 10 program prioritas/unggulan yang dibahas dalam tulisan ini. Jika ada kesempatan lain, insyaallah beberapa program dedikasi akan kita bahas di waktu yang berbeda.

Pertama, Program Birokrasi Digital/Digitalisasi Pelayanan Publik (DISPARA). Sesungguhnya program seperti digital yang berbasis internet sudah sangat terlambat untuk dilaksanakan. Mengingat kompetisi dengan negara-negara luar sudah tertinggal jauh dan kita baru akan memulainya. Kita sangat tertinggal dalam merencanakan pembangunan yang berbasis digitalisasi dengan jaringan internet. Jika kita baru ingin memulai sekarang, maka beberapa kendala utama akan menjadi problem. Sehingga satu periode ke depan paling mungkin kita hanya mampu memenuhi target menyiapkan infrastruktur. Yang terdiri dari penguatan jangkauan jaringan provider di setiap kecamatan. Bahkan untuk menyediakan infrastruktur jaringan provider sampai ke desa-desa atau kelurahan akan sulit dipenuhi. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Infrastruktur yang lain adalah fasilitas listrik yang harus sudah masuk ke seluruh kecamatan dan desa. Sementara faktanya, masih banyak desa/kelurahan yang belum dialiri oleh listrik. Padahal fasilitas jaringan listrik yang dikehendaki dan memadai untuk mendukung program ini harus stabil, tak terbatas waktu hidup/matinya, tersedia siang malam selama 24 jam. Kondisi faktual saat ini, di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan, belum semuanya teraliri listrik. Di beberapa tempat, meskipun kecamatan, desa/kelurahan sudah ada aliran listrik, tapi masih diberlakukan jam hidup/mati listrik.

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah sumber daya manusia (SDM). Baik aparatur kecamatan, kita abaikan jika fakta lain bahwa masalah ini juga masih ada di pusat kabupaten, aparatur desa/kelurahan dan masyarakat yang masih belum memadai untuk memanfaatkan akses layanan digital. Karena keterbatasan pengetahuan. Ketersediaan perangkat yang menjadi alat untuk mengakses layanan ini di tengah masyarakat, juga menjadi persoalan. Karena jumlahnya masih sangat jauh dari harapan. Sebagai contoh, pelaksanaan sistem belajar jarak jauh di masa pandemi COVID-19 saja terjadi persoalan-persoalan dalam bentuk keterbatasan fasilitas, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan komunikasi serta mental pengajar, peserta didik dan orang tua siswa. Sampai sekian bulan ini belum mampu diurai. Sehingga efektivitas belajar secara daring masih sangat jauh dari harapan untuk bisa menggantikan model pembelajaran langsung.

Sejauh ini, konsep program digitalisasi pelayanan birokrasi masih diragukan untuk dapat dilaksanakan. Sampai hari ini, Pemkab Kukar saja belum mampu membuat jaringan data secara online di lintas kantor daerah. Sehingga kinerja aparatur dalam melayani masyarakat sangat manual. Data-data yang harusnya integral tidak mungkin dipanggil jika diperlukan. Harus secara manual. Jika ingin diakses dalam bentuk hard file.

Yang paling penting, apakah program ini murah? Untuk situasi kondisi sebagaimana kita bahas di atas, maka seolah-olah program ini harus dimulai dari nol. Artinya, boleh dikatakan bahwa biayanya sangat mahal. Jika untuk menargetkan keberhasilan program ini on the time sebagaimana program yang direncanakan, maka bersiap-siaplah mengucurkan dana tiga sampai empat kali lebih besar dibandingkan bila program ini dilaksanakan secara gradual mengikuti alur waktu.

Kita hanya menyarankan pemkab, lebih baik dan akan lebih bermanfaat, untuk membenahi tranparansi anggaran kepada publik. Dengan menyiapkan program yang lebih murah dan lebih dibutuhkan saat ini. Yakni program e-budget APBD. Sementara program digitalisasi pelayanan publik, siapa pun kepala daerahnya, hendaknya pada periode ini ditarget hanya setingkat penyiapan dan penguatan infrastrukturnya.

Kedua, Program 10.000 Beasiswa Idaman. Mendengar atau membaca angka 10.000 beasiswa, maka secara spontan orang akan terdecak kagum. Kita yakin tak sedikit orang telah membayangkan suatu terobosan pendidikan yang fantastis dan mengagumkan.

Tapi bolehlah kiranya ada yang bertanya, apakah jumlah mahasiswa kita sebanyak itu? Kalau tidak, apakah jumlah mahasiswa dan siswa kita hanya sejumlah itu? Kalau targetnya adalah membantu mahasiswa, maka angka itu mubazir. Tapi kalau targetnya mahasiswa dan siswa, apakah itu cukup?

Menyebut jumlah calon penerima beasiswa sesungguhnya sangat spekulatif. Tak terukur besaran dana yang mampu dipenuhi oleh pemerintah. Tak dapat diukur berapa jumlah dana yang layak diterima oleh masing-masing mahasiswa atau siswa. Dengan model program seperti ini, tidak dapat direncanakan dengan pasti berapa target penerima beasiswa dan penyesuaian nilai anggaran per tahun.

Cara klasik ini sangat buruk untuk dijadikan konsep program sebagai upaya mendorong perencanaan pendidikan bagi masing-masing penerima beasiswa. Pemerintah seharusnya telah membuat target-target peramalan SDM. Yang dapat dicapai dengan program tersebut. Pada tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga dan seterusnya. Jika program beasiswa ini hanya bersifat stimulan, maka pemerintah tidak bisa mengikat komitmen dari penerima. Untuk mengabdi ke daerah ketika mereka selesai menempuh pendidikan. Bahkan beasiswa stimulan tak dapat mengikat para penerima beasiswa untuk menempuh pendidikan sampai selesai. Kecuali itu datang dari kesadaran masing-masing penerima beasiswa.

Daerah seharusnya berkaca pada pengalaman masa lalu. Ketika beasiswa akhirnya diberikan dengan jumlah nominal yang sama, baik kepada mahasiswa diploma, strata satu, strata dua sampai strata tiga sebesar Rp 1 (satu) juta/orang. Karena alasan kondisi keuangan sedang defisit. Idealnya, bukan jumlah orang yang ditarget. Tapi berapa perhitungan kesanggupan dana pemerintah daerah untuk dialokasikan terhadap program beasiswa. Kepada calon penerima harus tetap selektif. Agar anggaran tersebut bisa memenuhi taget-target sebagaimana yang diharapkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: