Euforia Politik Masyarakat saat Pilkada
OLEH: HARTONO*
Dalam kerumunan anak-anak, mereka saling bersahutan. Berbicara soal pilkada yang sedang hangat-hangatnya. Di antara mereka ada yang mendalil, jadi anggota DPR itu enak, dan yang lain menimpali bahwa jadi bupati lebih enak. Sebab banyak yang mengawalnya.
Bermodal logika, penulis mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab anak sekecil itu sudah mulai sadar terhadap politik praktis di sekitarnya. Apakah ini bagian euforia politik yang tidak disadari oleh masyarakat kita? Euforia itu terjadi sebab masa kampanye telah dimulai. Ini menjadi tugas bersama antara penyelengara pemilu, pengawas pemilu dan partai politik yang mengusung untuk menghadirkan pemilu yang sehat, transparan dan mendidik masyarakat dalam hal politik.
Tepatnya, pilkada serentak akan dihelat pada 9 Desember 2020. Menurut Mendagri Tito Karnavian, “Walaupun masa pandemi, pilkada tetap dilaksanakan dan sekaligus menjadi peluang bagi masyarakat mendapatkan pemimpin terbaik, unggul, inovatif, amanah dan efektif untuk menghadapi krisis pandemi COVID-19.” Meski demikian, kebijakan pemerintah soal pelaksanaan pilkada ini disanggah oleh banyak kalangan. Sebab pandemi saat ini belumlah mereda di banyak daerah di Indonesia. Namun pemerintah sepertinya tetap menghelatnya.
Dalam hal euforia politik, masyarakat yang telah memilih sistem demokrasi, sungguh mereka memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Karena politik dalam perspektif yang luas sesungguhnya sederhana sekali. Yakni setiap hari dan waktu sejatinya manusia berpolitik. Aristoteles mengatakan, manusia sebagai zoon politicon. Ini istilah untuk meyebut makhluk sosial. Zoon adalah hewan dan politicon adalah masyarakat. Kodratnya hewan (manusia) yang tercerahkan melalui logos/akal menghendaki adanya interaksi dan perkumpulan satu sama lain. Dengan pemahaman tersebut, maka jadilah ia sebagai manusia politik. Sesederhana itulah politik.
Kita acap kali menemukan seseorang dengan mudahnya berbicara politik. Apakah di ruang-ruang grup WAG, di ruang kelompok arisan, pengajian, maupun ronda. Itulah yang umum terjadi di masyarakat kita. Namun, hendaknya semangat dalam partisipasi politik itu tetap menjunjung tinggi aturan yang berlaku di negara kita.
Dalam ijtihad politik keindonesiaan, sejatinya dalam aktivitas politik praktis tidak boleh membawa anak-anak di bawah umur, melibatkan institusi pendidikan, dan institusi keagamaan. Karena demikianlah yang telah diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut, di tengah euforia politik saat ini, barang kali ada dua hal yang menjadi catatan bagi pemilih: pertama, figur politik (politisi). Merebaknya calon yang muncul, jika dicermati, di antara mereka banyak sekali yang bukan dari partai pengusungnya. Fakta ini tentu menjadi pertanyaan serius. Mungkinkah ada kegagalan dalam pengkaderan partai sehingga ia tak mampu mencalonkan figur dari internal partai? Jika demikian yang terjadi, tentu ini menjadi koreksi mendalam bagi partai-partai saat ini. Sebab berpolitik dengan mendirikan partai tidak semata-mata mencari kuasa dan kekuasaan. Namun mampu menghadirkan figur yang ideal, figur yang mampu serta negarawan.
Kedua, mesin politik. Tidak dapat dimungkiri. Dalam pilkada atau kontestasi politik di Indonesia, mesin politik juga harus berjalan dengan baik. Bentuknya bisa menyebar dengan sebutan tim sukses, relawan, simpatisan organik dan seterusnya. Ini yang sudah terjadi di lapangan. Mereka tak segan-segan hadir di tengah masyarakat dengan menawarkan dan memperkenalkan calon-calon yang bertarung di pilkada.
Idealnya, jangan sampai mesin politik di setiap partai tak berfungsi dan dikalahkan oleh kekuatan figur. Penangkapan pemimpin daerah dan angota dewan yang terlibat dalam kasus-kasus pidana, tentu ini akan menjadi tsunami politik di setiap partai dan akan sangat berimplikasi terhadap perolehan suara di setiap perhelatan pilkada yang akan dilewati partai.
Dari kedua pendekatan tersebut, maka akan mudah disimpulkan beberapa hal. Bagi kalangan pemilih milenial, pilihan rasional-pragmatis dengan melihat sosok-figur calon akan lebih diutamakan. Mereka juga melihat latar belakang/track record, karya yang dihasilkan dan seterusnya. Ini sangat penting. Sebab kalangan milenial mampu mengakses segalanya lewat teknologi yang begitu dekat denganya.
Kemudian di kalangan tua. Pemilih memiliki kecenderungan berpendirian fanatik dan romantika. Mengapa demikian? Sebab di kalangan tua biasanya selalu tertanam dalam benaknya partai A dulu yang pernah membangun ini-itu. Tanpa mau melihat figur-figur yang ditawarkan apakah mampu memberi dan menawarkan perubahan.
Itulah euforia politik di tengah-tengah masyarakat kita. Harapanya, apa pun partainya, siapa pun figurnya, tentu diharapkan mampu menawarkan gagasan untuk kebaikan dan kemajuan setiap daerah yang akan dipimpinnya kelak jika memenangkan kontestasi. (*Akademisi STAI Sangatta Kutai Timur/Direktur Eksekutif Politica And Social Studies Institut)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: