Reforma Agraria di Kalangan Perempuan
OLEH: LINDA MULYANI*
Sejarah mencatat, perempuan berperan penting dalam sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan perempuan dalam mengolah tanah dan membudidayakan tanaman. Sehingga menghasilkan padi-padian, buah-buahan dan sayur-sayuran yang baik. Ini pula yang memunculkan suatu kepercayaan atau mitos bahwa tubuh perempuan membawa suatu kesuburan yang harus dijaga kesuciannya. Berbagai macam kepercayaan seperti itu masih terus tumbuh hingga sekarang di banyak suku bangsa di India, Australia, dan Polinesia (Simone de Beauvior, The Second Sex).
Peran perempuan termasuk ke dalam rantai pangan yang turut menjaga keseimbangan alam. Di antaranya hutan, tanaman serta ternak. Hingga kini, perempuan dianggap berperan penting dalam produksi pangan dunia. Tapi ternyata peran petani perempuan selama tiga dekade terakhir ini tidak pernah terbebas dari proses marginalisasi, dominasi dan kekerasan. Belum lagi sembuh dari penderitaan akibat kekerasan dan marginalisasi, kini petani perempuan dihadapkan dengan “reforma agraria” yang ditetapkan melalui Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Reforma agraria merupakan “penataan ulang”. Kemudian dikenal dengan “land reform” menyeluruh dan komperhensif. Artinya, penataan ulang yang dilakukan sasarannya bukan hanya tanah pertanian. Tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lainnya.
Tujuan peraturan reforma agraria antara lain mengadakan pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani berupa tanah, melaksanakan prinsip tanah untuk petani supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan, memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik, mengakhiri sistem tuan tanah dan penghapusan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk setiap keluarga. (Gautama, 1986)
Reforma agraria di Indonesia sebagai solusi untuk menyelesaian ketimpangan penguasaan atas tanah dan sumber daya agraria antara petani dan pemilik lahan, dan penggunaan sumber daya agraria harus bermuara pada keadilan gender dan keadilan sosial. Artinya, reforma agraria juga harus membuka akses perempuan terhadap sumber daya agraria.
Meski begitu, reforma agraria tidak mampu mengatasi permasalahan petani perempuan. Petani perempuan tetap termarginalisasi dalam sejumlah sektor pertanian yang menerapkan proses produksi yang tidak boleh mengesampingkan peran perempuan. Sebab, selain berkontribusi dalam produksi pangan, perempuan juga sangat terpengaruh oleh gejolak harga pangan.
Antara tahun 1984-1989, gerakan revolusi hijau (green revolution) hadir dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit dan tidak memungkinkan lagi memanen dengan menggunakan ani-ani. Secara ekonomis telah menyingkirkan peran perempuan. Karna ani-ani adalah alat yang sangat melekat dengan perempuan dalam memanen padi. Akibatnya, banyak kaum perempuan yang secara tidak langsung kehilangan pekerjaan di sawah atau dalam bertani (Mansour Fakiq, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 2013).
Selain menata ulang tanah pertanian, reforma agraria juga menata seluruh tanah di bumi ini. Termasuk tanah pertambangan, tanah hutan, perkebunan dan perairan. Hingga hari ini, perampasan lahan, dan ruang hidup masyarakat masih terus belangsung. Tanpa adanya upaya penyelesaian konflik yang adil dan berorientasi pada hak-hak masyarakat. Terlebih terhadap perempuan. Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, terjadi 659 konflik agraria sepanjang tahun 2017. Dengan luasan lahan mencapai 520.491,87 hektare (ha). Selama pemerintahan Jokowi-JK dari 2015-2017, telah terjadi sebanyak 1.361 konflik agraria. Konflik agraria ini menimbulkan ketidakadilan dan dampak berlapis bagi perempuan yang kehilangan sumber-sumber kehidupan.
Di Kalimantan Timur, khususnya Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, merupakan sebuah desa yang masyarakatnya dominan melakukan pertanian, berkebun dan berburu. Terkhusus para perempuan di daerah itu, mereka menggeluti pekerjaan sebagai petani dan pengolah lahan pertanian. Akibat reforma agraria, tanah pertanian, tanah hutan, tanah perkebunan dikuasai oleh investor asing. Yang mempersempit ruang gerak para perempuan dalam mengolah lahan dan bercocok tanam guna mencukupi kebutuhan pangan. Akibatnya, para petani perempuan ini banyak yang pergi meninggalkan desanya untuk menjadi buruh tani di suatu persawahan yang jauh dari desa mereka.
Kedaulatan sebagai petani di tanah sendiri pun menjadi hal yang mustahil. Karena lahan pertanian, lahan hutan dan perkebunan telah gundul terkeruk oleh kerakusan investor. Beberapa perempuan di pedalaman Kalimantan yang hidup berdampingan dengan alam seperti Suku Dayak di Kalimantan Tengah, mereka mulai kehilangan pekerjaan sehari-hari. Karena sulitnya mencari sumber pangan di hutan yang mulai gundul.
Setelah mengamati dan menyaksikan kehidupan para perempuan pedalaman yang hidup berdampingan dengan alam, reforma agraria ini tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat pedalaman. Khususnya perempuan. Peran perempuan semakin hari semakin terkikis oleh perubahan kondisi masyarakat. Peran yang seharusnya terus dilestarikan sebagai bentuk keberagaman budaya di Indonesia. (*Mahasiswi Prodi KPI FUAD IAIN Samarinda)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: