Sejarah Konflik Palestina dan Israel

Sejarah Konflik Palestina dan Israel

“Mereka telah melakukan ini dalam banyak cara yang berbeda. Terutama dengan menawarkan kepada rakyat Palestina ‘peraturan’. Di mana rakyat Palestina tidak memiliki kendali nyata atas perbatasan, air, pertahanan, atau penduduknya sendiri. Rakyat Palestina tidak pernah ditawari negara yang berdaya, berdampingan, dan berdaulat penuh,” sebutnya.

Pihak Israel tidak akan pernah menerima hak diaspora pengungsi Palestina untuk kembali ke Israel. Karena hal itu pada dasarnya akan mengubah sifat Israel menjadi negara minoritas Yahudi.

Ini telah membangkitkan perbandingan yang tidak nyaman dengan Afrika Selatan di bawah apartheid. Termasuk dalam laporan pada 2017 oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat. Bahkan di masa lalu oleh mantan politisi Israel.

Pihak Israel mengkritik perbandingan apartheid yang dibuat dalam laporan itu. Emmanuel Nahshon, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, membandingkannya dengan tabloid Nazi dan memberi tanda bahwa Sekretaris Jenderal PBB António Guterres belum mendukung laporan tersebut.

SOLUSI DUA NEGARA

Solusi dua negara umumnya diperdebatkan sebagai satu-satunya solusi jangka panjang. Tetapi ada banyak kendala untuk itu.

Keputusan pemerintah Trump baru-baru ini untuk memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel ke Yerusalem dianggap signifikan secara simbolis.

Walau AS secara resmi tidak mengambil posisi terkait perbatasan. Namun langkah itu meningkatkan ketegangan. Karena dianggap mengindikasikan dukungan untuk posisi Israel di Yerusalem. “Langkah ini berarti akhir dari solusi dua negara,” kata Profesor Nassar.

“Itu karena salah satu prinsip inti (di pihak Palestina) adalah bahwa Yerusalem Timur akan menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan.”

Tetapi pemerintah Israel di bawah Netanyahu mengklaim bahwa Yerusalem adalah “ibu kota Israel yang tidak terbagi”.

“Israel menganeksasi Yerusalem Timur pada 1980, yang melanggar hukum internasional,” kata Profesor Nassar.

“Dengan langkah ini, AS jelas berpihak pada sikap Netanyahu. Mengakhiri harapan negara Palestina dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur,” lanjut dia.

Tetapi Yerusalem dan statusnya bukan satu-satunya penghalang. Meskipun hampir semua pemangku kepentingan kecuali Hamas berkomitmen untuk solusi dua negara dalam teori.

Hambatan besar lainnya termasuk lokasi perbatasan yang tepat; nasib para pengungsi Palestina (entah mereka dapat memiliki hak untuk kembali atau tidak); dan masalah tentang permukiman Yahudi di wilayah Palestina. Hampir setengah juta warga Israel Yahudi sekarang telah membangun rumah. PBB dan sebagian besar masyarakat internasional menganggapnya pemukiman ilegal.

Profesor Hassar mengatakan, perdamaian tidak akan mungkin tercapai sampai Palestina “diperlakukan dengan hak yang sama untuk kebebasan dan martabat seperti orang lain.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: