Royalti Batu Bara Tak Dihapus

Royalti Batu Bara Tak Dihapus

OLEH: UFQIL MUBIN*

Isu “penghapusan royalti” batu bara sedang hangat diperbicangkan sebagian warga Kaltim. Hal ini bisa dimaklumi. Sebab, sebagian besar pendapatan daerah ini berasal dari hasil pengerukan sumber daya alam yang tak dapat diperbarui itu.

Perbicangan soal royalti hangat di publik karena DPR dan pemerintah pusat mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang memuat royalti 0 persen bagi perusahaan batu bara yang melakukan “hilirisasi”. Hal itu termuat dalam Pasal 39 Undang-Undang Cipta Kerja.

Ada dua alasan mendasar dari kelompok yang kontra terhadap pasal dalam undang-undang sapujagat tersebut. Pertama, mereka menyebut penerapan Undang-Undang Cipta Kerja akan menggerus sebagian besar Dana Bagi Hasil (DBH) yang selama ini menyumbang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim. Bahkan, baru-baru ini ada media lokal yang mencantumkan jumlah kerugian Kaltim jika royalti dihapus. Katanya, pendapatan Bumi Etam akan tergerus sebesar Rp 9 triliun.

Kedua, penghapusan royalti batu bara dengan syarat hilirisasi akan dijadikan sebagai alasan bagi pengusaha emas hitam untuk menghindari setoran yang diamanahkan undang-undang. Kata mereka, perusahaan batu bara bisa saja melaporkan kepada pemerintah bahwa mereka telah melakukan hilirisasi demi menghindari penyetoran royalti.

MISINTERPRETASI

Pengenaan royalti 0 persen dalam Undang-Undang Cipta Kerja itu pada titik tertentu telah disalahpahami oleh “sebagian” publik Kaltim. Penilaian bahwa provinsi dengan segudang kekayaan alam ini akan tergerus pendapatannya karena royalti dihapus juga terlalu berlebihan.

Mengapa demikian? Pertama, pengenaan royalti 0 persen bersifat “opsional” belaka. Tidak otomatis berlaku saat Undang-Undang Cipta Kerja diterapkan. Artinya begini. Hanya perusahaan yang melakukan hilirisasi yang akan diberikan oleh pemerintah insentif royalti 0 persen. Sebaliknya, bagi perusahaan yang “tidak melakukan hilirisasi” akan tetap menyetor royalti kepada pemerintah. Sebagaimana diamanahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kedua, pelaksanaan hilirisasi di sektor batu bara membutuhkan cost yang nilainya fantastis. Paling tidak perusahaan harus berinvestasi US$ 2 miliar sampai US$ 3 miliar atau Rp 29,4 triliun hingga Rp 44,1 triliun (kurs Rp 14.700/dolar) untuk bisa melakukan hilirisasi. Jadi, hanya perusahaan dengan modal besar yang bisa didorong untuk menginisiasi hilirisasi di sektor ini.

Jika demikian, maka hanya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dapat melakukan hilirisasi. Saat ini, terdapat 30 pemegang PKP2B yang beroperasi di Bumi Mulawarman. Artinya, “hanya” 30 pemegang izin itulah yang dapat melakukan hilirisasi.

Kecuali nanti dalam PP mengatur kebolehan gabungan perusahaan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan hilirisasi. Apabila demikian, maka kerja sama sejumlah pemegang IUP juga bisa melakukan hilirisasi. Hal ini bergantung pada rumusan dalam PP yang sedang digodok pemerintah pusat.

Sebaliknya, jika dalam PP itu tidak memperbolehkan gabungan pemegang IUP melakukan hilirisasi untuk mendapatkan insentif royalti 0 persen, maka tertutuplah kemungkinan bagi pemegang izin tersebut mendorong dan melaksanakan hilirisasi.

Dengan demikian, meski Undang-Undang Cipta Kerja diterapkan, 734 pemegang IUP di Kaltim akan tetap menyetor royalti kepada pemerintah pusat sebagaimana diamanahkan PP Nomor 9 Tahun 2012.

Ketiga, hilirisasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Selain membutuhkan investasi besar, sektor hilir batu bara ini membutuhkan waktu yang relatif panjang. Berdasarkan hitung-hitungan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), realisasi proyek di industri hilir batu bara ini setidaknya membutuhkan waktu 25-30 tahun.

Artinya, jika dalam PP mengatur insentif royalti 0 persen dikenakan kepada perusahaan batu bara yang telah berhasil melakukan hilirisasi, maka insentif fiskal itu baru dinikmati oleh perusahaan dalam kurun waktu puluhan tahun. Sehingga sebelum pengolahan batu bara menjadi produk hilir berhasil dilakukan perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat akan tetap “menikmati” royalti Rp 50 triliun (data 2018) dari sektor batu bara.

MENGAPA HILIRISASI?

Selama ini, batu bara digali, diangkut, dan dijual ke pasar dalam negeri dan luar negeri. Sependek pengetahuan saya, belum ada satu pun perusahaan yang benar-benar berhasil menjalankan kewajiban hilirisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Sementara itu, Indonesia membutuhkan pemanfaatan lebih lanjut terhadap energi fosil itu. Salah satunya yang bisa didorong di Kaltim adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sebagai pembangkit dengan bahan baku utama batu bara, mestinya hal ini dapat didorong sejak lama. Sebab, provinsi ini masih memiliki masalah di bidang elektrifikasi. Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, pada September 2020 masih terdapat 15,79 persen warga Kaltim yang belum tersentuh listrik dari PLN. Mereka tersebar di 289 desa di Bumi Etam. Terbanyak berada di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: