Sentralisme Parpol dalam Kandidasi Kepala Daerah
TAHAPAN pendaftaran pasangan calon kepala daerah menjadi agenda penting, sebagai salah satu bagian dari tahapan penyelenggaraan Pilkada langsung dan serentak. Sebab pada tahap inilah, input yang berkaitan dengan kandidasi kepala daerah di 270 provinsi dan kabupaten/kota dimulai. Input yang baik menjadi modal awal yang menentukan bagi luaran maupun hasil yang berkualitas, dalam kebutuhan rekruitmen kepemimpinan lokal sesuai kepentingan masyarakat dalam berotonomi daerah.
Pendaftaran pasangan calon kepala daerah melalui jalur partai politik (Parpol) sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-undang (UU) Nomor 10/2016, menentukan syarat minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah bersangkutan bagi Parpol atau gabungan Parpol. Dalam konteks ini, penting diajukan catatan kritis sejauh mana persyaratan normatif pencalonan pasangan kepala daerah yang diusung Parpol itu dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh setiap Parpol itu sendiri, sebagai pintu masuk untuk mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan masyarakat lokal dalam berotonomi daerah.
Menjadi gejala jamak bahwa pola dalam proses rekruitmen pasangan calon kepala daerah, terdapat Parpol tingkat daerah yang sama sekali tidak melakukan proses penjaringan calon kepala daerah secara terbuka, ataupun jika dilakukan proses penjaringan terjadi dalam ruang deliberasi dan partisipasi yang sangat terbatas bagi publik daerah dalam menentukan dan mempreferensikan para pasangan calon kepala daerah.
Selain itu, jika dicermati, melalui klausul Pasal 42 ayat (4a) dan Pasal 42 ayat (5a) UU Nomor 10/2016, yang mengizinkan pendaftaran pasangan calon apabila tidak dilakukan oleh pengurus pimpinan Parpol tingkat daerah dapat dilakukan oleh pimpinan Parpol tingkat pusat, maka cengkraman pusat dalam mendikte proses rekruitmen pasangan calon kepala daerah menjadi lebih kuat.
Klausul ini memungkinkan terkondisinya superioritas pimpinan Parpol tingkat pusat ketika terjadi perselisihan kepentingan dengan pimpinan Parpol tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam memutuskan pasangan calon kepala daerah yang diusung. Bagi pengurus Parpol tingkat daerah yang melawan keputusan Parpol tingkat pusat, maka tuduhan pembangkangan dan ancaman sanksi dinonaktifkan sampai dalam bentuk pemecatan dari Parpol tingkat pusat telah disiapkan di depan mata.
Pola rekruitmen
Jika diamati, pola rekruitmen menunjukan, Pertama, kuatnya sentralisme Parpol tingkat pusat dalam tahap rekruitmen dan pendaftaran pasangan calon kepala daerah, yang linier dengan minimnya pemberdayaan institusi dan kepemimpinan Parpol tingkat daerah, untuk menjadi agen lokal dalam menciptakan proses kepemimpinan lokal secara mandiri. Sentralisme Parpol tingkat pusat ini pada gilirannya menjadi penyebab terciptanya involusi Parpol tingkat daerah, dalam memerankan fungsi penting Parpol sebagai sarana rekruitmen Politik.
Kuatnya rekruitmen kepemimpinan lokal yang masih berbasis selera pusat ini menegaskan, Pilkada tidak menjadi perayaan demokrasi lokal tetapi perayaan hasrat politik Pusat yang diselenggarakan di arena kekuasaan lokal. Tidak heran jika dalam proses penjaringan pasangan calon kepala daerah, justru hilir mudik proses pencalonan lebih riuh terjadi di Parpol tingkat pusat yang dibumbui dengan aroma tidak sedap komersialisasi dukungan oleh Parpol.
Praktik sentralistik Parpol tingkat pusat bukan saja mereduksi Parpol tingkat daerah, sebagai salah satu institusi strategis demokrasi lokal hanya sebagai pemuas hasrat Parpol tingkat pusat, tetapi juga lebih luas menunjukan adanya praktik demokrasi lokal setengah hati yang dikuasai oleh watak anti demokrasi, elit sentrik, dan oligarkis di internal Parpol berdasarkan komando Parpol tingkat pusat. Juga menunjukan distorsi yang serius terhadap esensi otonomi daerah yang mensyaratkan adanya share of authority dalam pengambilan keputusan bagi institusi-institusi lokal secara desentralistik.
Kedua, minimnya ruang deliberasi dan partisipasi bagi publik daerah yang berimpitan dengan situasi sentralistik tersebut. Dalam konteks rekruitmen pasangan calon kepala daerah ini, umumnya Parpol tingkat daerah yang melakukan proses penjaringan pasangan calon hanya memperlihatkan aneka kesibukan aktivitas administratif, namun sepi dalam proses-proses deliberatif yang melibatkan publik.
Pola ini memperlihatkan, Pertama, dalam proses pencalonan kepemimpinan lokal, Parpol belum menunjukan kompetensinya sebagai bagian dari institusi milik publik, yang terjadi justru proses-proses eksklusif yang dikendalikan oleh segelintir elit Parpol. Padahal, Pilkada hanya dapat dinikmati sebagai ajang perayaan dan pengayaan demokrasi lokal yang sesungguhnya, jika pada internal institusi Parpol, seluruh jenjang struktur Parpol dilibatkan dan diberdayakan secara efektif, mulai dari ranting, anak ranting, daerah, wilayah hingga pimpinan Pusat yang diaksentuasikan dengan deliberasi dan partisipasi publik.
Kedua, suksesi pemilihan kepala daerah secara langsung dalam rezim pilkada serentak ini masih direduksi semata-mata hanya sebagai peristiwa politik teknis belaka. Pola rekruitmen pasangan calon kepala daerah seperti ini belum meletakkan kebutuhan pengisian jabatan kepemimpinan lokal sebagai bagian dari agenda kebudayaan, atau sebagaimana yang diisyaratkan oleh Murgatroyd dan Don Simpson (2011) sebagai kesempatan untuk mengkonsolidasikan kemunculan renaissance leader.
Dalam kebutuhan kepemimpinan berbasis renaissance leader, substansi suksesi kepemimpinan wajib diletakkan sebagai agenda kontestasi habis-habisan visi dan rekam jejak para calon pemimpin yang menominasikan diri. Olehnya, agenda uji publik merupakan keniscayaan untuk dapat memastikan adanya input pasangan calon kepala daerah yang terbaik diantara yang terbaik, bukan sebaliknya, publik dipaksa memilih yang terbaik diantara yang terburuk.
Pentingnya Deliberasi
Implikasi dari proses pencalonan kepemimpinan lokal oleh Parpol dengan pola tertutup memunculkan adanya pasangan calon kepala daerah yang dinominasikan oleh Parpol tanpa kriteria yang akuntabel sebagai calon pemimpin. Tidak ditemukan argumen yang memadai sebagai landasan kriteria untuk menominasikan atau menolak menominasikan setiap peminat calon pasangan kepala daerah yang berproses dalam penjaringan Parpol. Selain pertama, alasan hegemonik bahwa pasangan calon kepala daerah yang dinominasikan dipercaya lebih kuat berdasarkan hasil survei, seakan-akan pilkada adalah ring tinju adu kuat politik, ataupun kedua, pasangan calon yang dinominasikan memenuhi kriteria normatif yang disyaratkan oleh undang-undang.
Dalam situasi seperti ini, maka inisiatif publik lokal untuk secara intens membuka sendiri ruang dan agenda-agenda deliberasi bagi terciptanya Pilkada deliberatif, menjadi pekerjaan alternatif untuk memungkinkan Pilkada tidak semakin menjauh dari poros utamanya, berotonomi daerah. (*/zul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: