Keterbukaan Informasi Publik untuk Kaltim Berdaulat (1)

Keterbukaan Informasi Publik untuk Kaltim Berdaulat (1)

OLEH: IMRAN DUSE*
Dalam tataran global, isu keterbukaan informasi publik mulai berkembang dan mendapat perhatian banyak negara setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjamin kebebasan masyarakat mengakses informasi dan menjadikannya sebagai hak yang fundamental.

Garansi itu lantas diikuti sejumlah deklarasi dan perjanjian multilateral (Kovenan) yang kian menguatkan dan memangkalkan keterbukaan informasi publik (sejumlah negara mengenakan istilah lain dengan makna serupa) sebagai hak asasi manusia serta menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak yang lain.

Dalam Sidang Umum PBB pada 14 Desember 1946, disepakati Resolusi Nomor 59 (1) yang mempermaklumkan, “Kebebasan memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang fundamental dan menjadi standar dari seluruh kebebasan yang menjadi pusat perhatian PBB.”
Resolusi itu kelak menjadi salah satu rujukan Badan PBB dalam menyusun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Atas dasar itu, hak untuk memperoleh informasi kemudian diakui sebagai hak asasi manusia dan menjadi salah satu hak dasar yang diperhitungkan secara internasional.

Dua tahun setelah itu, DUHAM PBB (Pasal 19) secara tegas menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hal mana mencakup untuk menganut pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan gagasan melalui media apa pun tanpa mempedulikan batas negeri.”
Hampir dua dekade kemudian, pada 1966, Amerika Serikat (AS) menjadi negara pertama yang memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi. Disusul kemudian Denmark dan Norwegia (1970), Belanda dan Prancis (1978), Australia dan Selandia Baru (1982), Kanada (1983), Hungaria (1992), Belize (1994), Irlandia dan Thailand (1997), Korea Selatan dan Israel (1998), Jepang (1999), dan Afrika Selatan pada 2000 (Haris Azhar, 2018).

Perkembangan tersebut cukup menggembirakan. Menunjukkan besarnya perhatian masyarakat internasional terhadap hak dan kebebasan memperoleh informasi. Hal ini juga tak lepas dari kemajuan teknologi digital yang mulai berkembang sejak 1950. Perkembangan dimaksud memengaruhi pola komunikasi dan interaksi masyarakat. Terutama setelah ditemukan media teknologi informasi (komputer dan internet).

Dalam kaitan itu, kita dapat mengambil pengalaman Inggris yang cukup berhasil mengimplementasikan keterbukaan informasi publik. Terutama untuk meningkatkan kepercayaan warga terhadap lembaga-lembaga pemerintah.

Menurut survei Komisi Informasi Inggris, setidaknya ada 81 persen badan publik (pemerintah) di Inggris merasakan peningkatan kepercayaan masyarakat. Hal itu setelah aturan hukum tentang hak memperoleh informasi ini (Freedom of Information Act) disahkan Parlemen Inggris pada 2000 dan secara efektif berlaku lima tahun setelahnya.

Demikian juga tingkat partisipasi dan peran serta masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik yang berkembang pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya 120.000 jumlah permohonan informasi setiap tahun yang diterima badan-badan publik pemerintah Inggris.

Di India, sejak Right to Information Act diberlakukan pada 2005, undang-undang tentang pengaturan hak atas informasi publik itu banyak dimanfaatkan warga sipil. Khususnya sebagai sarana kontrol perilaku pejabat dan upaya memberantas perilaku korupsi yang memang cukup masif dalam birokrasi India. Meski begitu, ada juga yang memanfaatkan untuk mendapatkan akses informasi pelayanan publik (Haris Azhar, 2018).


Menilik pengalaman di beberapa negara, setidaknya terdapat tiga isu utama yang menyertai dan menopang perhatian masyarakat dunia terhadap kebutuhan keterbukaan informasi publik. Ketiga isu utama tersebut adalah: Hak Asasi Manusia (HAM), pemberantasan korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Tiga isu utama dimaksud nampaknya juga hadir dalam pengalaman Indonesia. Bahkan sejumlah persoalan terkait tiga isu utama tersebut telah melahirkan energi dan desakan perubahan dari masyarakat.

Ada kerinduan warga negara untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerinduan ini begitu mendalam. Mengingat ruang partisipasi publik di masa itu sangat terbatas (atau dibatasi). Kerap atas dalih kerahasiaan negara.

Energi tersebut kemudian mencapai klimaksnya saat Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden pada 21 Mei 1998 dan mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Sehari setelah itu, fajar reformasi pun menyingsing dan menghangatkan seantero Ibu Pertiwi.

Sejalan dengan itu, dalam Sidang Tahunan MRP RI Tahun 2000, dihasilkan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. Dimensi hak atas informasi publik pun diadopsi dan masuk dalam konstitusi negara.
Hal tersebut direkam dalam Pasal 28F UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dicantumkannya hak atas informasi tersebut menandaskan negara mengakui hak atas informasi sebagai hak asasi manusia. Selain sebagai hak konstitusional warga negara. Dengan kata lain, negara menjamin hak atas informasi sebagai hak yang melekat pada seluruh rakyat Indonesia. Baik dalam kapasitas sebagai warga negara maupun sebagai pribadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: