Oleh: Salsabila
Setiap 22 Desember, ruang publik Indonesia dipenuhi ucapan terima kasih kepada ibu. Media sosial ramai dengan bunga, doa, dan kalimat penuh pengorbanan. Di sekolah, kantor, dan ruang publik, perempuan dirayakan lewat simbol-simbol domestik yakni dengan berkebaya, lomba memasak, atau narasi tentang ketulusan mengurus rumah tangga.
Sekilas hal tersebut memang tampak hangat dan penuh cinta. Namun jika ditarik lebih dalam, perayaan Hari Ibu kerap berhenti pada romantisasi, bahkan berisiko mengukuhkan beban lama yang sejak awal justru ingin dilawan oleh gerakan perempuan.
Perayaan semacam ini jarang disertai pertanyaan mendasar seperti apakah perempuan, terutama ibu yang bekerja dan benar-benar hidup dalam kondisi yang adil dan setara? Ataukah mereka justru dipuji karena sanggup menanggung beban yang seharusnya tidak ditimpakan sendirian?
Bagi banyak jurnalis perempuan, Hari Ibu sering terasa ironis. Di tengah penghormatan simbolik, realitas kerja yang timpang tetap berjalan seperti biasa tanpa jeda dan tanpa koreksi.
BACA JUGA: Pancasila Masih Ada atau Hanya Ornamen Kekuasaan?
Hari Ibu di Indonesia sejatinya tidak lahir dari ruang domestik, melainkan dari ruang politik. Sejarahnya bermula dari Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.
Puluhan organisasi perempuan dari berbagai daerah berkumpul untuk membicarakan isu yang pada masanya dianggap radikal yaitu pendidikan perempuan, perkawinan anak dan paksa, poligami, hingga posisi perempuan dalam masyarakat kolonial.
Dalam konteks zamannya, kongres itu merupakan langkah progresif. Perempuan tidak diposisikan sebagai pelengkap laki-laki atau penjaga rumah tangga semata, melainkan sebagai subjek politik yang memiliki hak, suara, dan kepentingan.
Penetapan Hari Ibu melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 semestinya menjadi penghormatan atas perjuangan itu.
BACA JUGA: Ruang Pendidikan Sebagai Wadah Apresiasi
Meski demikian, seiringnya waktu, makna Hari Ibu justru mengalami penyempitan. Ia lebih sering dirayakan sebagai hari pengabdian perempuan di ranah domestik. Ibu dipuji karena kesabaran, ketulusan, dan pengorbanannya, sementara sistem sosial dan ekonomi yang membuat pengorbanan itu seolah "kodrat" jarang dipersoalkan. Ibu dihormati, tetapi tidak benar-benar didengar.
Penyempitan makna ini terasa nyata di dunia jurnalistik. Jurnalis perempuan bekerja dalam ritme cepat, tenggat ketat, dan tuntutan kesiapsiagaan tinggi. Liputan malam, perjalanan jauh, hingga kondisi lapangan yang tidak selalu aman dianggap bagian dari profesionalisme.
Masalah muncul ketika profesionalisme itu dibangun di atas asumsi bahwa jurnalis tidak memiliki beban pengasuhan. Ketika jurnalis tersebut adalah perempuan dan terlebih lagi seorang ibu kerja profesional dan kerja domestik bertemu tanpa batas yang jelas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perempuan di Indonesia menghabiskan waktu hampir dua kali lipat untuk kerja domestik dan perawatan tidak berbayar dibanding laki-laki, meskipun sama-sama bekerja di sektor publik.