
Salah satunya adalah Rasyid (46), yang telah berjualan janur di Pasar Segiri selama lebih dari 10 tahun.
"Setiap tahun pasti saya jualan di sini. Janur saya ambil dari Tenggarong, lebih lemas dan mudah dianyam," ucapnya.
Berbeda dengan Sunepah yang hanya menjual ketupat siap pakai, Rasyid juga menyediakan janur dalam bentuk lembaran.
Satu ikat janur mentah dijual Rp15.000, sementara ketupat yang sudah dianyam dihargai Rp10.000 per ikat.
"Kadang ada yang beli janurnya saja, karena mereka lebih suka bikin sendiri di rumah. Tapi lebih banyak yang beli ketupat jadi karena lebih praktis," ungkapnya.
Rasyid melihat bahwa kebiasaan memasak ketupat masih bertahan di era gempuran moderenisasi, meski cara mengolahnya mulai berubah.
Jika dulu banyak keluarga berkumpul dan menganyam ketupat bersama, kini lebih banyak yang memilih membeli ketupat siap pakai.
"Saya mulai jualan sejak pagi sampai malam, kadang kalau ramai bisa sampai tengah malam. Soalnya banyak orang beli mendadak," tutur Rasyid saat mengobrol langsung dengan Nomorsatukaltim, pada Kamis (27/3/2025) malam.
BACA JUGA : Tragedi Kebakaran di Sempan: Jeni Kehilangan Segalanya, Saya Hanya Bisa Pasrah
Ketupat dalam Tradisi Masyarakat Madura
Ketupat bukan sekadar makanan, tetapi juga bagian dari budaya, terutama di kalangan masyarakat Madura.
Masyarakat Madura memiliki perayaan khusus yang disebut Tellasan Topa’ atau Hari Raya Ketupat, yang berlangsung sepekan setelah Idulfitri.
"Kalau di Madura, setelah Lebaran ada perayaan ketupat. Orang-orang memasak ketupat dalam jumlah besar dan membagikannya ke tetangga serta keluarga," lanjut Sunepah.
Dalam tradisi ini, ketupat bukan hanya hidangan, tetapi juga simbol kebersamaan dan rasa syukur setelah berpuasa selama sepekan di bulan Syawal.
Tradisi ini masih kuat di kalangan masyarakat Madura, termasuk mereka yang merantau ke luar daerah.